BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Pemilihan bahasa (Language choice)
dapat dikaji berdasarkan perspektif penggunaan bahasa dan penentuan bahasa.
Masalah pemilihan bahasa biasanya terjadi di masyarakat bahasa, baik yang
berdwibahasa maupun yang berganda bahasa (multilingual). Kontribusi pemilihan
bahasa sebagai langkah penetuan bahasa merujuk ke arah penentuan garis haluan
kebahasaan (kebijaksanaan bahasa) yang tercermin lewat perencanaan bahasa.
Sikap muncul dari berbagai bentuk
penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan
perilaku, dan kognisi. Respon afektif adalah respon fisiologis yang
mengekspresikan kesukaan individu pada sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah
indikasi verbal dari maksud seorang individu. Respon kognitif adalah
pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek sikap. Kebanyakan sikap
individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya.
Bisa terdapat kaitan antara sikap
dan perilaku seseorang walaupun tergantung pada faktor lain, yang kadang
bersifat irasional. Sebagai contoh, seseorang yang menganggap penting transfusi
darah belum tentu mendonorkan darahnya. Hal ini masuk akal bila orang tersebut
takut melihat darah, yang akan menjelaskan irasionalitas tadi.
Sikap dapat mengalami perubahan
sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan
dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung. Sebagai contoh, bila
seseorang terlahir dengan kecenderungan menjadi ekstrovert, maka sikapnya
terhadap suatu jenis musik akan terpengaruhi. Sikap seseorang juga dapat berubah
akibat bujukan. Hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye mempengaruhi
seseorang.
Salah seorang ahli yang membahas
tentang sikap adalah Carl Jung. Ia mendefinisikan tentang sikap sebagai
"kesiapan dari psike untuk bertindak atau bereaksi dengan cara
tertentu". Sikap sering muncul dalam bentuk pasangan, satu disadari sedang
yang lainnya tidak disadari.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan pada
paparan di atas, ada beberapa permasaahan yang diangkat.
1.
Bagaimananakah kajian sosiolinguistik?
2. Apa itu
sikap bahasa dalam kajian Sosiolinguistik?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang
disampaikan di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai.
1.
Mengetahui kajian Sosiolinguistik.
2. Mengtahui
sikap bahasa dalam kajian Sosiolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH
DAN CAKUPAN KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
2.1.1
Sejarah Sosiolinguistik
Panini (500 SM) diyakini oleh banyak
linguis sebagai pelopor pengkaji sosiolinguistik. Dalam karyanya yang berjudul
Astadhayayi—satu buku yang berisi tentang stilistika bahasa—pengkajian
sosiolinguistik mulai mendapat perhatian. Baru beberapa abad kemudian, tepatnya
pada abad 19, Schuchardt, Hasseling, dan Van Name (1869-1897) untuk pertama
kalinya memulai kajian tentang dialek bahasa pedalaman Eropa dan kontak bahasa
yang menghasilkan bahasa campuran. Perkembangan kajian sosiolinguistik semakin
menemukan titik cerah setelah de Saussure (1857-1913) berpendapat bahwa bahasa
adalah sebuah fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini,
terdapat dua istilah yang masih populer hingga saat ini: langue dan parole. Tak
lama berselang, langkah de Saussure ini ditindaklanjuti oleh beberapa sarjana
bahasa Amerika Serikat, seperti Franz Boas, Edward Sapir, dan Leonard
Bloomfield yang melakukan beberapa kajian bahasa, budaya, dan kognisi. Istilah
sosiolinguistik digunakan pertama sekali oleh Harver Currie pada tahun 1952.
Tokoh ini sebelumnya melihat kajian linguistik tidak memiliki perhatian
terhadap realitas sosial. Setahun berikutnya, Weinreich (1953) menulis Language
in Contact, yang diikuti dengan kemunculan karya-karya besar lain dalam bidang
ini sehingga mulai saat itu sosiolinguistik menjadi ilmu yang mantap dan
menarik perhatian banyak orang (Hidayatullah, http://kampusislam.com//).
2.1.2 Fokus
Kajian Sosiolinguistik
Secara umum, bahasa dipahami sebagai
sistem tanda arbiter yang dipakai oleh manusia
untuk tujuan komunikasi antara satu sama lain. Dengan demikian, konteks sosial
dalam penggunaan bahasa menjadi sesuatu yang penting untuk dikaji. Menurut
Chomsky, sosiolinguistik menyoroti segala yang dapat diperoleh dari bahasa,
dengan cara apa pendekatan sosial dapat menjelaskan segala yang dikatakan
dengan bahasa, oleh siapa, kepada siapa, pada saat kehadiran siapa, kapan dan
di mana, atas alasan apa, dan dalam keadaan bagaimana. Sementara menurut Hymes
(1971), perhatian sosiolinguistik tertuju pada kecakapan manusia dalam
menggunakan bahasa dengan tepat dalam latar yang berbeda. Kajian-kajian
sosiolinguistik bermanfaat untuk menyusun: (1) konsep dasar tentang guyub
tutur; (2) variasi dan perubahan bahasa (dialek dan kelompok sosial); (3)
kontak bahasa; (4) bahasa, kekuasaan, dan ketidaksetimbangan; (5) perencanaan,
kebijakan, dan praktek bahasa; (6) bahasa dan pendidikan; (7) metode penelitian
sosiolinguistik; (8) sosiolinguistik sebagai profesi (Hidayatullah,
http://kampusislam.com//).
2.1.3
Beberapa Pendekatan Ilmiah dalam Penelitian Bahasa
Ada beberapa pendekatan ilmiah yang
menjadi pijakan dasar penelitian, termasuk dalam penelitian bahasa, sebagai
berikut: (1) metode deduktif, yaitu penelitian bahasa yang dimulai dengan
memperhatikan kebenaran abstrak bahasa yang berlaku universal, melalui
perangkat aturan-aturan, hingga keberadaan fakta individual; (2) penjelasan
probabilitas, yaitu penjelasan yang berupaya menjelaskan adanya hubungan sebuah
bahasa tertentu atau varian bahasa tertentu dengan keanggotaan kelas
sosioekonomi atau aspirasi pengguna bahasa tersebut; (3) penjelasan fungsional,
yaitu penjelasan yang berupaya membuat korelasi antara bahasa dan struktur
sosial; (4) penjelasan genetis, yaitu penjelasan tentang ‘hukum’ invarian dalam
perkembangan bahasa manusia, sejak dari bahasa manusia prasejarah hingga ujud
bahasa yang dipakai saat ini.
2.1.4 Sosiolinguistik
dengan Ilmu-ilmu lain
Sosiolinguistik dalam melakukan
kajiannya, kadang tidak bisa terlepas dari ilmu-ilmu lainnya. Sosiolinguistik
dalam melakukan pkajiannya bisa melakukan kerjasama dengan berbagai bidang
kajian lain seperti dialektologi, retorika,
sosiolinguistik makro dan mikro. Hubungan sosiolinguistik dengan ilmu
lainya dapat digambarkan sebagai berikut, (1) dialektologi dan sosiolinguistik.
Dialektologi adalah kajian tentang dialek yang lebih memperhatikan fokus dan
cognates daripada kebiasaan verbal yang menggunakan pendekatan diakronis.
Di sisi lain, sosiolinguistik memiliki kecenderungan untuk mengadopsi
pendekatan sinkronis, yang menghubungkan bentuk pilihan penutur bahasa dengan
kriteria ekstralinguistik, serta memperhatikan kelompok sosial dan variabel
bahasa yang digunakan; (2) retorika dan sosiolinguistik. Retorika bertujuan untuk menentukan metode
persuasi yang paling baik untuk kemudian bertugas menjelaskannya. Di
pihak lain, sosiolinguistik adalah deskripsi dan tujuan yang memuat
keahlian-keahlian berbahasa. Perbedaan lainnya adalah, retorika berfokus pada
fungsi persuasif bahasa, sementara sosiolinguistik
berfokus pada kajian teks dan lisan yang berhubungan dengan topik apa saja dan
memuat tujuan apapun; (3) sosiolinguistik mikro dan makro. Pendekatan sosiolinguistik mikro
menekankan pada
individu dalam interaksinya dalam kelompok kecil dan informal, sedangkan pendekatan sosiolinguistik makro menekankan pada level interaksi antar kelompok yang
lebih besar. Sosiolinguistik mikro memperhitungkan karakteristik
individu yang membedakannya dengan individu lain, sebaliknya sosiolingustik
makro memperhitungkan distribusi perbedaan bahasa dalam masyarakat dan
hubungannya dengan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan etnik
penutur yang diteliti.
2.2 POKOK
PEMBAHASAN SOSIOLINGUISTIK
Fishman (1971) mendefinisikan
sosiolinguistik sebagai kajian mengenai karakteristik ragam bahasa, fungsi bahasa, dan
penutur bahasa. Menurutnya, ketiga faktor itu dapat berubah, saling
berinteraksi, dan memodifikasi satu dengan yang lain dalam masyarakat bahasa.
Ada empat jenis hubungan antara bahasa dan masyarakat (Grimshaw, 1971), seperti
berikut: (1) bahasa menentukan masyarakat; (2) struktur sosial menetukan bahasa; (3) adanya co-variance antara
fakta sosial dan fakta bahasa; (4) bahasa dan
masyarakat ditentukan oleh faktor lain, seperti
budaya, struktur abstrak, atau hakikat biologis.
2.2.1
Pendekatan dalam Sosiolinguistik
Setidaknya ada tiga pendekatan yang
digunakan untuk melakukan kajian terhadap bahasa dan variasi bahasa yang bisa
dikemukakan di sini: (1) pendekatan de
Saussure. Menurutnya, konotasi dan variasi dalam bahasa dihubungkan oleh
tuturan (speech) dan individu, bukan oleh bahasa dan masyarakat.
Kesuksesan sebuah komunikasi karena adanya keseragaman dan homogenitas
masyarakat dalam menggunakan kode yang sama; (2) pendekatan Labov yang menekankan pada variasi bahasa. Baginya,
bahasa bersifat heterogen. Kesalahpahaman antarpenutur dalam komunikasi
muncul karena di antara mereka tidak memiliki latar belakang sosiokultural yang sama; (3) pendekatan variasi stilistika. Dalam pendekatan ini, variasi bahasa
yang dipakai oleh seorang penutur dalam berkomunikasi disesuaikan dengan
situasi yang dihadapi.
2.2.2
Sosiolinguistik Mikro dan Sosiolinguistik Makro
Sosilinguistik
mikro mengacu pada kajian mengenai gejala bahasa dalam
konteks sosial yang ditandai oleh faktor-faktor makro yang tidak dapat
tereduksi lagi. Tiga prinsip utama
yang terdapat dalam hubungan interaksi antar individu dalam kelompok adalah
sebagai berikut: (1)pencapaian interaksi dalam komunikasi; (2) akuisisi dan
modifikasi kecakapan komunikatif; dan (3) sikap bahasa.
Adapun sosiolinguistik makro mengacu pada kajian
mengenai fenomena sosiolinguistik yang mencakup variabel yang lebih besar,
baik dalam jumlah populasi, wilayah penyebaran bahasa, maupun kontinuitas
bahasa dari waktu ke waktu. Ada tiga utama yang patut diperhatikan dalam
sosiolinguistik makro: (1) kontak bahasa; (2) konflik bahasa; (3) perubahan
bahasa dan perubahan sosial.
Dengan demikian, hubungan antara
sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro dapat ditemukan dalam transmisi
hubungan agennya, juga dalam proses klasifikasi dan pemetaannya. Ini bila
mengikuti formulasi Bernstein. Sementara dalam formulasi Collin, hubungan di
antara keduanya tidak diperlukan.
Hubungan
di antara keduanya dapat disajikan dengan berpasangan seperti berikut:
(1) guyub tutur berpasangan dengan repertoar individu; (2) bahasa sebagai
komoditas sosial berpasangan dengan bahasa sebagai atribut individu; (3) bahasa
sebagai dasar evaluasi kolektivitas sosial berpasangan dengan bahasa sebagai
dasar kesempatan individu; (4) bahasa sebagai entitas yang menyebar, menyusut,
dan berubah berpasangan dengan bahasa sebagai sebuah kemampuan yang dibutuhkan
oleh individu dan pergeseran dalam perspektif apa pun; (5) bahasa sebagai
sebuah budaya dan sistem tanda berpasangan dengan bahasa sebagai unsur hubungan
individu antara pembaca dan pengarang.
Pokok kajian
sosiolinguistik dibagi menjadi dua, yaitu: mikrososiolinguistik
dan makrososiolinguistik. Yang pertama mengacu ke kajian bahasa pada
komunikasi antarpersonal (dari orang ke orang). Yang kedua itu merujuk ke
kajian bahasa pada tingkat yang lebih tingi daripada komunikasi antarorang,
yakni pada tingkat komunitas.
Mikrososiolinguistik membahas tentang bentuk dan struktur bahasa di dalam
kaitannya dengan komunikasi antarorang. Yang kedua membahas tentang
kedwibahasaan (bilingualisme), komunitas diglostik, sikap bahasa, perencanaan
bahasa, aksen, variasi bahasa, pemilihan bahasa, pemertahan dan pergeseran
bahasa, bahasa dan pendidikan, dll.
2.3 SIKAP
BAHASA
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan orang lain.
Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya
(positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Seseorang pun dapat
menjadi ambivalen terhadap suatu target, yang berarti ia terus mengalami bias
positif dan negatif terhadap sikap tertentu.
Sikap muncul dari berbagai bentuk
penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga
model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku,
dan kognisi. Respon afektif adalah respon fisiologis yang
mengekspresikan kesukaan individu pada sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah
indikasi verbal dari maksud seorang individu. Respon kognitif adalah
pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek sikap. Kebanyakan sikap
individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya.
Bisa terdapat kaitan antara sikap
dan perilaku seseorang walaupun tergantung pada faktor lain, yang kadang
bersifat irasional. Sebagai contoh, seseorang yang menganggap penting transfusi
darah belum tentu mendonorkan darahnya. Hal ini masuk akal bila orang tersebut
takut melihat darah, yang akan menjelaskan irasionalitas tadi.
Sikap dapat mengalami perubahan
sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan
dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung. Sebagai contoh, bila
seseorang terlahir dengan kecenderungan menjadi ekstrovert, maka sikapnya
terhadap suatu jenis musik akan terpengaruhi. Sikap seseorang juga dapat
berubah akibat bujukan. Hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye
mempengaruhi seseorang.
Salah seorang ahli yang membahas tentang sikap adalah
Carl Jung. Ia mendefinisikan tentang sikap sebagai "kesiapan dari psike
untuk bertindak atau bereaksi dengan cara tertentu". Sikap sering muncul
dalam bentuk pasangan, satu disadari sedang yang lainnya tidak disadari.
("http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia_bahasa_Indonesia).
Sikap juga dapat
memudahkan seseorang mempelajari bahasa kedua. Hasil penelitian Lambert at all
(1968, dalam Fasold 1984:148) menunjukkan bahwa sikap dapat mempengaruhi
pemelajaran bahasa kedua. Sikap yang positif terhadap bahasa kedua memungkinkan
seseorang untuk lebih cepat memahami bahasa kedua tersebut. Sebaliknya, sikap
negatif terhadap bahasa kedua akan menghalangi pemahaman bahasa kedua tersebut.
Ada dua pandangan utama
mengenai sikap yaitu pandangan mentalist dan behaviorist. Menurut pandangan mentalistik, sikap adalah keadaan internal yang dibangkitkan oleh suatu stimulasi yang dapat
menjadi perantara respon selanjutnya (Williams, 1974: 21). Sedangkan menurut
pandangan behaviorist, sikap adalah
respon yang dibuat oleh orang terhadap berbagai situasi social (Fasold, 1984:
147).
Perbedaan lain antara kedua
pandangan ini adalah mengenai komponen dari sikap. Menurut Agheyisi dan Fishman
(1970: 139) mentalist menganggap sikap terbagi atas tiga komponen, yaitu:
kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (tindakan), sedangkan
behaviorist memandang sikap sebagai unit tunggal.
Sikap bahasa ditandai oleh ciri yang
meliputi pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat
multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Di
antaranya ada yang berkaitan dengan topic pembicaraan, kelas sosial masyarakat
pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, dan situasi pemakaian.
2.4 PENELITIAN MENGENAI SIKAP BAHASA
2.4.1 Sikap Mahasiswa Program S1 Sastra Inggris,
Fakultas Sastra, Universitas Airlangga Terhadap Aksen Bahasa Inggris Amerika
Dan Britania Suatu Kajian Sosiolinguistik oleh Deny Arnos Kwary, S.S. dan Dra.
Ida Nurul Chasanah, S.S.,M.Hum (2005)
Di Indonesia setidaknya ada tiga
peneliti yang pernah membahas mengenai sikap bahasa, yaitu: Asim Gunarwan
(1983), Anton M Moeliono (1988) dan Basuki Suhardi (1991). Ketiga peneliti
tersebut lebih memfokuskan pada sikap terhadap bahasa Indonesia. Gunarwan
(1983) meneliti sikap bahasa mahasiswa Indonesia terhadap bahasa Indonesia baku
dan non baku. Moeliono (1988) menemukan enam sikap negatif yang kurang menguntungkan
dalam pembakuan bahasa Indonesia. Suhardi (1991) meneliti sikap mahasiswa dan
sarjana terhadap bahasa Indonesia, bahasa ibu dan bahasa Asing. Penelitian
Suhardi (1991) mengenai sikap terhadap bahasa asing, hanya memfokuskan pada
sikap terhadap bahasa Inggris secara umum. Penelitian tersebut tidak membahas
mengenai sikap terhadap dua ragam bahasa Inggris yang berbeda dan tidak melihat
pada berbagai dimensi psikologi sosial, misalnya status, kekuasaan,
solidaritas, dan kompetensi.
Penelitian yang dilakukan oleh Deny
Arnos dan Ida Nurul memfokuskan pada sikap terhadap aksen bahasa Inggris
Amerika dan Britania. Menurut Montgomery (1995:69) aksen mengacu pada seluruh
pola pengucapan khusus oleh orang-orang dari daerah tertentu atau kelompok
sosial tertentu. Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, dengan
jumlah penutur sekitar 1,5 miliar (Crystal, 1997), menyebabkan adanya berbagai
variasi aksen bahasa Inggris menurut negara penuturnya. Variasi bahasa Inggris
yang paling dominan adalah variasi bahasa
Inggris Amerika (American English), yang disebut juga General American, dan
bahasa Inggris Britania (British
English), yang disebut juga Received Pronunciation. Fromkin dan Rodman
(1998: 430) menemukan bahwa aksen bahasa Inggris Britania berbeda secara
sistematis dari yang diucapkan dalam bahasa Inggris Amerika. Contohnya: 48%
orang Amerika mengucapkan konsonan tengah dalam kata luxury dengan bunyi tidak
bersuara, sementara 96% orang Inggris mengucapkannya dengan bunyi bersuara .
Penelitian yang dilakukan oleh Deny
Arnos dan Ida Nurul memfokuskan pada sikap mahasiswa program studi Sastra
Inggris di Universitas Airlangga terhadap aksen bahasa Inggris Amerika dan
Britania. Sikap bahasa mereka akan dinilai berdasarkan empat dimensi dasar yang
dapat dibagi dalam 22 personality traits ‘ciri kepribadian’. Keempat dimensi dasar tersebut adalah status, power ‘kekuasaan’, solidarity ‘solidaritas’, dan
competence ‘kompetensi’. Penjelasan lebih lanjut mengenai 22 personality
traits yang mengisi keempat dimensi ini dapat dilihat pada bagian Landasan
Teori.
Deny Arnos dan Ida Nurul memilih
mahasiswa program studi Sastra Inggris sebagai populsi penelitian ini dengan
asumsi dasar bahwa bahwa para mahasiswa tersebut berhubungan erat dengan
pemelajaran bahasa Inggris dan cukup dapat membedakan aksen bahasa Inggris
Amerika dan Britania. Menurut aspek biologis, pendidikan untuk mahasiswa dapat
dikategorikan dalam pendidikan orang dewasa (Brookfield, 1984). Peran mahasiswa
dalam pembangunan Indonesia sangat penting. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan
tinggi bertugas menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional, yang dapat menerapkan serta
mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian.
Khasanah ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian dapat diperkaya dengan pemahaman bahasa Inggris yang
merupakan bahasa Internasional. Proses pemahaman bahasa Inggris dapat
diakselerasikan jika kita mengetahui variasi bahasa Inggris yang lebih disukai
oleh para pelajar pada umumnya, dan mahasiswa program studi S1 Sastra Inggris
pada khususnya, karena sikap terhadap suatu bahasa dapat mempengaruhi tingkat
keberhasilan pembelajaran bahasa.
2.4.2 Sikap
Bahasa Guru Sekolah Dasar Di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Terhadap
Bahasa Indonesia oleh Meirwandina Putra
Permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah sikap bahasa guru sekolah dasar di
Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas? (2) Adakah perbedaan sikap bahasa guru sekolah dasar di
Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya? Tujuan
penelitian ini ialah memperoleh gambaran tentang bagaimana sesungguhnya sikap
bahasa dari masyarakat tutur kita sekarang ini terhadap bahasa Indonesia.
Sesuai dengan subjek yang dikaji, maka penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran sikap bahasa dari masyarakat tutur guru sekolah dasar di
Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Lebih khusus lagi, yaitu untuk
memperoleh gambaran mengenai seberapa jauh sikap positif terhadap bahasa Indonesia,
khususnya terhadap bahasa Indonesia ragam baku saat kegiatan belajar mengajar
berdasarkan kelas yang diajarnya dan latar belakang pendidikan guru tersebut.
Lebih jauh lagi, penelitian ini bertujuan memerikan pengaruh variabel jenis
kelamin.usia, dan pendidikan terhadap sikap bahasa guru sekolah dasar tersebut.
Data dalam penelitian ini berupa pernyataan sikap responden terhadap bahasa
Indonesia. Data tersebut diperoleh dengan menerapkan dua teknik, yaitu:
menyebar kuesioner kepada responden, sebagai data pokok dan wawancara, sebagai
data penunjang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif
sekaligus kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan beberapa
hal, yakni: (1) Guru sekolah dasar menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia,
khususnya bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas,
(2) Sikap bahasa guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa
Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dipengaruhi oleh
variabel jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Terdapat perbedaan sikap bahasa
guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia berdasarkan variabel-variabel
tersebut. Guru laki-laki menunjukkan sikap lebih positif daripada guru
perempuan. Dipandang dari tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan mereka,
semakin positif sikap bahasanya. Guru dengan tingkat pendidikan strata satu
menunjukkan sikap lebih positif daripada guru dengan tingkat pendidikan diploma
dua.
2.4.3 Sikap
Bahasa Mahasiswa STBA Harapan Medan Terhadap Penutur Bahasa Indonesia Beraksen
Jawa, Minang, Batak, Aceh, Dan Hokien (Suatu Kajian Sosiolinguistik) oleh
Paiman Yusdarsono
Tesis ini berjudul “Sikap Bahasa
Mahasiswa STBA Harapan Medan Terhadap Penutur Bahasa Indonesia Beraksen Jawa,
Minang, Batak, Aceh dan Hokien (Suatu Kajian Sosiolinguistik).
Penelitian ini adalah suatu kajian
sikap bahasa yang bertujuan mengetahui, jawaban tentang sikap bahasa mahasiswa
STBA Harapan Medan terhadap penutur bahasa Indonesia Beraksen Jawa, Minang,
Batak, Aceh dan Hokien. Dan mengetahui sikap bahasa terhadap karakteristik
penutur bahasa daerah tersebut.
Data dikumpulkan lewat angket yang
disebarkan kepada 160 orang responden. Data dihitung berdasarkan skala 6 yaitu:
(1) paling (positif) (2) lebih (positif) (3) positif (4) negatif (5) lebih
(negatif), dalam bentuk penjumlahan (Xi), nilai rata-rata (mean), dan standar
deviasi (SD).
Hasil penelitian ini menggambarkan
bahwa sikap bahasa responden (mahasiswa STBA Harapan Medan) terhadap penutur
bahasa Indonesia beraksen jawa adalah negatif (3.06), beraksen Minang, adalah
negatif (3.35), beraksen batak adalah positif (3.50), beraksen aceh adalah
positif (3.51), beraksen Hokien adalah positif (3.67).
2.4.4
Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan oleh Sumarsono 1990
Penelitian tentang bahasa Melayu
Loloan ini dilakukan penulis sendiri untuk disertasi (Sumarsono, 1990).
Penelitian memfokus kepada pencarian faktor-faktor pendukung pemertahanan
bahasa Melayu Loloan. Bahasa ini dipakai oleh guyup Loloan, suatu guyup minoritas
beragama Islam, tinggal di tengah-tengah kota Negara, Bali. Menurut sejarah,
guyup ini mulai dating ke Bali pada pertengahan abad ke-17. mereka adalah
pelarian pasukan Gowa, Sulawesi Selatan. Seabad kemudian, pertengahan abad
ke-18, muncul gelombang kedua, kali ini berasal dari pelarian armada angkatan
laut dari Pontianak. Mereka inilah yang kemudian menjadi inti guyup Loloan,
yang mulai memproleh konsesi tempat tinggal di banjar Loloan, di
sebelah-menyeelah sungai Ijo tinggal Gading, pada awal abad ke-19. jumlah
mereka pada saat itu mungkin hanya beberapa puluh keluarga, setelah mendapat
hunian di situ, pada pertengahan abad ke-19 berdatangan pula pendatang dari
Jawa Timur, yang kemudian juga beradaptasi ke dalam guyup itu. Salah satu
pengikat kuat dari ketiga komponen dalam guyup itu adalah agama Islam. Jumlah
meraka sekarang hanya empat sampai limaribu orang. Tetapi, bahasanya mampu
bertahan selama paling sedikit selama tiga abad, di tengah-tengah mayarakat
mayoritas Bali yang beragama Hindu dan berbahasa Bali. Pekerjaan warga guyup
ini umumnya pedagang kecil, pengusaha industri rumah tangga, dan buruh. Semula
mereka nelayan dan pelaut tangguh, tetapi jumlah nelayan sekrang tinggal
sedikit. Tingkat pendidikan mepala keluarga ketika penelitian berlangsung sangat
rendah, yaitu kebanyakan hanya tamatan SD, tetapi tingkat pendidikan golongan
muda meningkat. Mereka menganut Islam yang tidak akomodatif terhadap guyup,
budaya, dan bahasa Bali.
Dalam pengumpulan data, kajian ini menggunakan
metodelogi yang biasa dipakai dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu ancangan
(pendekatan) sosiologi dan metode survey. Teknik yang dipakai adalah wawancara
intensif, pengumpulan dokumen, pengamatan partisipasi, dan kuesioner. Data
utama yang dijaring pengakuan diri (self-report) dari tiga generasi, dengan
percontoh (sampel) 290 kepala keluarga (KK), 120 anak muda (13-21 tahun), dan
28 anak usia6-12 tahun. Hal yang ditanyakan adalah tentang sikap bahasa,
penguasaan, dan penggunaan bahasa yang menjada khazanah kebahasaan mereka, Bahasa
Melayu Loloan (B1), Bahasa Bali (B2 lama), dan Bahasa Indonesia (B2 baru).
Kuesioner ini dibarengi dengan pengamatan berpartisipasi selama enam bulan di
lapangan, perekaman percakapan tokoh-tokoh masyarakat. Kuesioner lain juga
ditujukan kepada warga Bali di sekira Loloan, terutama tentang sikap mereka
terhadap guyup pendatang itu.
Data yang berhubungan dengan penguasaan bahasa, sikap,
dan penggunaan bahasa dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
tebel-tabel. Data mengenai pengakuan diri ini, khususnya yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa, dianalisis dengan menggunakan table skala implikasional.
Dengan tabel ini kita dapat dengan mudah melihat konfiguasi pola pengguaan
bahasa pada berbagai ranah, dan sekaligus pergeseran dan pemertahanan bahasa
yang terjadi.
Penelitia yang dilakukan oleh Sumarsono pada tahun
1990 memberikan hal yang baru bagi perkembangan Linguistik Indonesia.
Penelitian ini merupakan titik awal perkembangan Linguistik, khususnya
berkaitan dengan pergeseran dan pemertahanan bahasa. Bagi penulis, penelitian
ini memberikan sebuah gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan.
Penelitian mengenai pergeseran dan pemertahanan Bahasa
melayu Loloan merupakan sebuh penelitian yang bagus, dilihat dari metode yang
digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono menggunakan berbagai
pendekatan untuk memperoleh data yang diinginkan. Sebagai peneliti, Sumarsono
telah mampu memberikan gambaran dan data yang cukup akurat sehingga hasil
penelitian ini memiliki nilai validitas yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono difokuskan
pada tiga generasi dalam masyarakat Loloan. Peneliti melihat hal tersebut
sebagai sebuah keunggulan sekaligus kekurangan. Jika penelitian dilakukan pada
tiga generasi yang berbeda, bisa kita bayangkan akan memperoleh hasil yang
berbeda pada tiap generasinya.
Akhirnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan tipe kedwibahasaan berikut. Pertama, mesyarakat Kelurahan Loloan
Timur, yang terbentuk dari guyup mayoritas Bali dan guyup minoritas Islam,
dapat dikatakan mendekati tipe masyarakat yang mengandung kedwibahasaan, karena
hampir tiap anggota dari guyup yang satu menguasai bahasa guyup yang lain.
setiap anggota guyup menjadi dwibahasawan dan mengetahui betul dalam situasi
sosial yang dia gunakan dalam salah satu bahasa yang dikuasai (bahasa Melayu
Loloan atau bahas Bali). Dalam masyarkat kelurahan ini, tiap bahasa mempunyai
fungsi sosial yang jelas dalam guyup masing-masing, dan karena itu setiap
funngsi bahasa tidak dirembesi oleh bahasa yang lain dari guyup lain. Akan
tetapi, karena tiap dwibahasa itu hanya menguasai bahasa guyup lain tanpa
menyerap unsur-unsur budayanya, kedwibahasaan itu bersifat monokultural.
Kedua, di dalam guyup Loloan sendiri, bahasa Melayu
Loloan dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu
Loloan berperan dalam ranah L (rumah tangga), ketetanggaan, dan
kekariban)
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Kajian mengenai sikap bahasa dalam ilmu
sosiolinguistik merupakan suatu hal yang penting untuk dipelajari. Sikap bahasa
dalam sosiolinguistik akan mengantarkan kita pada pilihan bahasa seseorang.
Sikap bahasa setiap individu itu tentunya akan berbeda-beda. Bahasa ibu,
sebagai bahasa pertama seorang individu mungkin akan mengalami pergeseran
fungsi dalam komunikasi seorang individu. Ini semua bergantung pada sikap
bahasa seseorang. Apakah sikap bahasanya positif terhadap bahasa ibunya,
ataukah bersifat negative terhadap bahasa ibunya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang
telah dilakukan, ada beberapa simpulan yang bisa dicapai. Ada beberapa individu
yang menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa
Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, selain itu, ada
juga yang memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa Indonesia, khususnya
bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas
dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Terdapat
perbedaan sikap bahasa individu terhadap bahasa Indonesia berdasarkan
variabel-variabel tersebut. Dipandang dari tingkat pendidikan, semakin tinggi
pendidikan mereka, semakin positif sikap bahasanya. Individu dengan tingkat
pendidikan strata satu menunjukkan sikap lebih positif daripada individu dengan
tingkat pendidikan diploma dua.
3.2 SARAN
Sangat penting sebagai masyarakat intelek kita lebih
bisa mengkritisi berbagai teori yang berkembang. Sebagai salah satu kajian dari
Sosiolinguistik, sikap bahasa sepertinya kurang mendapat perhatian dari para
linguis. Perlu adanya berbagai referensi yang menunjang. Kajian tentang sikap bahasa
juga masih jarang dilakukan oleh mahasiswa. Kedepannya, sangat perlu
dikembangkan kajian mengenai sikap bahasa, sehingga lebih memiliki peranan
dalam dunia pendidikan.
pa mana gk ada logo facebook.A?
BalasHapus