Follow us

Asallamualikum, Wr.Wb terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga blog ini bermanfaat bagi anda sebagi pelajar atau mahasiswa yang membutuhkan materi pembelajaran. Penulis sadar masih banyak kekurangan dari semua ini, untuk itu mohon saran dan komentarnya agar penulis lebih baik lagi. Terima kasih, Ari Setiadi

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 15 Desember 2013

CERPN, UNTUK NANIA


UNTUK NANIA


Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.


***


Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.


***



Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

Minggu, 24 November 2013

CERPEN Setitik Duka dalam Bahagia


Cerpen ini diambil dari kutipan Novel saya. Bagi yang berkenan untuk membacanya silakhkan saja download File nya. File berbentuk PDF




Setitik Duka dalam Bahagia
Penulis : Ari Setiadi, S.Pd


Ranting dan dedaunan yang terjatuh
Tak pernah menyalahkan sang pohon
Karena ia yakin ranting dan dedaunan
Akan terlahir kembali
Menjadi pucuk-pucuk masa depan

Ari Setiadi         
 


SATU

Suatu pagi, di tempat ia mengabdikan ilmu cuacanya agak mendung. Pagi yang biasanya disapa senyum sinar Matahari yang keberadaanya masih sembunyi-sembunyi, seolah enggan Matahari itu memberikan sedikit kehangatan. Tepat di pintu gerbang sekolah, bergiliran Angkot menurunkan penumpang. Tak lain penumpangnya adalah siswa-siswi SMP Muslimin Cililin. Tanpa menunggu lama, begitu keluar dari pintu Angkot mereka segera berjalan menuju kelasnya masing-masing. Tidak lupa mereka membayar ongkos terlebih dahulu.
Beberapa menit kemudian Pak Aries, Guru Bahasa Indonesia di sekolah itu datang.  Langsung ia masuk ke ruangan yang telah disediakan untuk para guru di sekolah itu. Seperti biasa, salam silaturahmi dan saling membalas ucapan salam pun terjadi di ruangan tersebut. Suatu hal yang dianggap  wajib dilakukan oleh guru atau pun orang-orang yang ada di lingkungan sekolah itu. Namun, hal itu juga wajib kita lakukan di manapun dan kepada siapapun. Karena agama Islam mengajarkan hal tersebut. Ucapan Assalamualaikum wajib kita balas dengan Wa aliaikum salam. Karena ucapan tersebut merupakan suatu doa keselamatan pada orang yang mengucapkan, maupun yang menjawabnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 86. Yang artinya.
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu(dengan serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An Nisa : 86)

Langit murung. Tampak setiap orang yang ada di sana, mengeluhkan cuaca pagi itu. Kabut keluh di wajah mereka seolah melengkapi mendungnya pagi itu. Bagaimana tidak?  Jika hujan turun anak-anak sekolah akan kerepotan di hari esok untuk mengeringkan baju seragamnya. Mayoritas anak sekolah tersebut hanya memiliki satu baju seragam putih biru.  Belum lagi, beberapa kelas tidak dapat digunakan jika hujan turun karena atapnya bocor. Sudah beberapa kali itu diperbaiki namun hasilnya tetap sama. Bocor!!  . Beberapa guru juga merasakan hal yang sama. Jika genting kelas bocor, mereka pun tidak dapat melaksanakan tugas mengajarnya. Al hasil materi bersih-bersih pun menjadi alternatif.
Lain lagi dengan Pak Aries. Hari itu cuaca yang mendung ditambah suasana sekolah yang ikut terbawa muramnya cuaca. Tidak mempengaruhinya untuk menambah daftar keluh setiap orang yang ada di sana. Tidak lain, karena hatinya  sedang berbahagia. Besok ia akan di wisuda, di resmikan sebagai salah satu cendikiawan Bahasa dan Sastra Indonesia terbaik di Perguruan Tinggi tempat ia menimba ilmu.  Apapun suasana pagi itu ia tetap memajangkan senyum di wajahnya. Sehingga ia menjadi orang yang paling berbeda pagi itu.
****

DUA

Tet...tet...tetttttttttttt!!!. 
Bel tanda masuk telah berbunyi. Seluruh siswa yang tengah berada di luar kelas mulai memasuki kelasnya masing-masing.  Demikian dengan para guru yang bermuara di ruang guru mulai bersiap-siap untuk memasuki kelas yang tengah di tunggu sang murid. Cuaca pagi itu tidak berubah. Menit menuju jam, jam melaju ke jam berikutnya, tetapi  cuaca tak berubah malah semakin bertambah kelam. Awan hitam kian menyelimuti sang  cakrawala hingga tenggalam  ditelan sang awan pemarah.  Para siswa tampak tidak terlalu terpengaruh oleh cuaca hari itu, tapi kebanyakan dari mereka mengeluhkan cuaca pagi itu. Hingga bel tanda pulangpun terdengar, cuaca  tak berubah.
Suara bel tanda pulang itu bunyinya berbeda sekali seperti biasanya. Suaranya terdengar begitu menggelegar karena diiringi suara petir yang memecah kesunyian. Hujan perlahan-lahan mulai turun. Tiap menit semakin bertambah volumenya. Rintik-rintik hujan yang lembut menjadi garis-garis tegas yang membuat setiap insan menahan diri menerobos tebalnya hujan dan memilih menepi kemudian  menunggu sampai hujan reda.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Tapi hujan tak kunjung reda. Aries mulai resah, dan gamang. Bagaimana tidak!  Ia harus mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi hari esok. Esok adalah hari yang selama 4 tahun ia nantikan.  Perjuanganya, pengabdiannya, kegigihan dan usahanya dalam belajar akan mendapatkan pengakuan berupa gelar seorang dari salah satu dari cendikiawan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terbaik di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. 
Seketika ia terbawa dalam lamunan.  Ditemani gemercik air hujan yang turun deras yang dimuntahkan dari langit.  Esok, keluarganya akan menjadi saksi  sekaligus ia akan membuat bangga mereka  dan  membuktikan bahwa ia dapat menjadi seseorang yang mandiri dan dapat menyelesaikan kuliahnya tanpa membebani ke dua orang tuanya.
Esok, ibu dan ayahnya akan menggandeng ke dua tanggannya menuju mimbar kehormatan di kampus.  Lalu ia akan mencium kaki Ibunya, orang tuanya memeluk dia kemudian akan ia katakan di hadapan para peserta wisuda
“ini aku Anakmu, aku persembahkan ini untuk Ibunda dan Ayahanda”
” Selamat nak, kamu berhasil. Kami bangga padamu.. Kau anak yang saleh, kau anak baik.”
Gunakanlah ilmumu ini untuk segala kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Kami mencintaimu nak” sambung ibunya melanjutkan ucapan sang Ayahanda.
Ayah dan ibunya memeluknya. kemudian, ia mencium ke dua kaki mereka. Hal yang selalu ia lakukan ketika Aries mendapatkan kebahagian. Namun  jika ia mendapatkan kesusahan, ia akan berusaha menyembunyikan itu dari ke dua orang tuanya. Walau mereka tahu bahwa anaknya  sedang mengalami kesulitan,  tetapi mereka mau mengerti keinginan Aries yang selalu berusaha membuat ke dua orang tuanya bahagia. Selalu ia ingat ajaran yang selalu ibunya berikan untuk menemaninya dalam menjalani pasang surut hidup. 
bertakwalah nak. Jika kau mendapat bahagia bersyukurlah, jika kau dapat musibah atau susah bersabarlah. Allah itu menyayangimu dengan caranya sendiri. Berbaik sangkalah padanya”.  Petuah yang sering Ibunya tanamkan. Cobaan memang pasti akan sering kita temukan, baik itu sebuah nikmat ataupun sebuah musibah. Namun percayalah Allah telah mempersiapkan pahala besar bagi mereka yang bersabar tanpa batas. Sebagaimana Allah berfirman.
Sesungguhnya hanya orang-orang uang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas”(Az-Zumar : 10)
***

Duuuuarrrrrrrrrr!!!!!!,,,,duarrrrrrr!!!!
Bunyi petir begitu menggelegar. Seketika membangunkan lamunannya. Tetesan air hujan yang masuk dari genting yang bocor, menetes tepat di wajahnya. Kini wajahnya basah. Tampak jelas ia seperti orang yang sedang menangis.
Kini, ia terbangun dari lamunan kebahagiaanya. Lamunan kebahagian itu seketika lenyap, tergantikan oleh sebuah kenyataan yang pahit. Tragedi kecelakaan dua bulan yang lalu telah merenggut nyawa ke dua orang tuanya. Nyawa hatinya, nyawa hidupnya. Orang yang paling ia cintai kini telah  tiada.
Lamunan dan harapan menjadi sesuatu yang kosong. Keberhasilan dan penghargaan yang ia dapatkan  menjadi sesuatu yang merobek-robek hatinya. Meluluh-lantahkan jiwanya. Jiwanya terombang-ambing di lautan duka. “untuk apa semua ini, untuk apaaaa!!” lirih perih dalam hatinya.
Ke dua kaki yang selalu ingin ia cium, kini hanya segunduk tanah merah tanpa suara. Pelukan hangat yang selalu ayah dan ibunya berikan, kini hanya sebongkah batu nisan bertuliskan nama.
Ya Allah, mengapa kau tidak memberiku kesempatan untuk membahagiakan mereka?”
“Mengapa kau tak memberiku kesempatan untuk ku mencium kaki mereka?”
“Mengapa kau tak  beri  aku kesempatan untuk ku menunjukan, berbahagianya aku sekarang?” Lirihnya dalam hati.
Ia sadar, bahwa setiap manusia yang hidup pastilah akan bertemu kematian jua. Begitupun dirinya. Namun kita tidak tahu kapan? Atau dimana? Ajal kita akan dijemput.
Innalilahi wa innalillahi rojiun” (datang dari Allah dan kembali padanya)
Hujan masih deras. Setiap orang yang tengah berada dekatnya saat berlindung dari hujan- yang kebanyakan adalah murid-muridnya yang sedang menepi menunggu hujan reda, tak menyadari bahwa ia sedang menangis. Tetasan air hujan yang menetes tepat ke wajahnya membuat orang tidak dapat membedakan yang mana air mata.
Tapi tidak dengan muridnya yang satu itu. Salah satu murid terbaik di sekolah itu.
Bapak kenapa? “ tanya Nurfalah padanya.
memangnya Bapak kenapa Nur?
Bapak menangis, ada apa Pak? Tapi maaf Nur lancang”
“Bapak gak apa-apa Nur, seperti menangis ya. Inikan hujan Nur!” Arie mencoba menutupinya.
“Saya yakin  itu bukan air hujan yang menetes ke wajah Bapak, tapi itu air mata Bapak
            Nampaknya sulit bagi Aries untuk mencoba menutupi kesedihannya pada muridnya yang satu itu. Nurfalah terus mendesak ingin tahu, seolah tengah merasakan apa yang dirasakan Aries – Nurfalah menatap dengan mata sayu, keningnya mengerut. Raut kecemasan nampak di wajah mungil itu. Bagaimana tidak, ia sudah menganggap Pak Aries sebagai orang tua ke dua baginya.
            Garis-garis tebal hujan kembali menjadi rintik-rintik. Beberapa menit kemudian menjadi butiran embun. Hujan deras telah reda.  Saat yang tepat untuk Arie memotong pembicaraan.
Allhamdulilah, hujanya reda Nur!” “ Bapak duluan ya, Assalamualaikum.”
Wa..wa allaikum salam..” menjawab salam Pak Arie. Matanya terus memandangi punggung Pak Aries dari belakang yang keluar gerbang yang semakin lama semakin jauh dan terlihat mengecil, kemudian hilang di sebuuah belokan jalan raya. Hatinya merasakan nuansa yang tidak seperti biasanya pada diri gurunya itu. Guru yang selalu tampak ceria, kalem, dan bersahaja kini selalu tampak murung. Setelah itu ia pun beranjak  pulang meninggalkan sekolahnya.
****













TIGA

            Suasana di area kampus sudah sangat ramai pagi itu. Padahal, waktu masih menujukan jam 05.30 WIB.  Sengaja Aries datang lebih awal supaya dapat parkir di dalam area kampus. Namun kenyataan berbeda, pagi buta area parkir dalam kampus sudah penuh dan sesak. Area kampus STKIP Siliwangi Bandung  yang begitu luas hari itu menjadi terlihat menyempit. Karena dipenuhi mobil, motor dan juga para keluarga yang sudah berada di sana sejak pukul 05.00 WIB pagi. Apa boleh buat, ia terpaksa parkir di area Fakultas Kedokteran Unjani –yang jarak dari sana ke area kampusnya cukup jauh. Setelah memarkirkan kendaraannya, ia berjalan menuju Aula Kampus tempat acara wisuda di gelar.
            Sesampainya di gerbang, begitu terperanjatnya ia. Melihat begitu banyak, sesak, orang di dalam area kampus. Untuk sekedar berjalan saja rasanya cukup sulit. Pantas saja, seluruh keluarga ikut untuk mengantar serta menyaksikan anaknya, istrinya, dan siapa saja yang di wisuda waktu itu. Ketika Aries berjalan menuju Aula Kampus, tampak di pinggir-pinggir kelas berjejer para tukang Photographer yang biasa hadir jika ada acara-acara seperti ini. Tampak terlihat sangat sibuknya para tukang poto itu, karena banyak sekali para peserta wisuda yang  tak mau melewatkan moment untuk mengabadikan saat-saat bersejarah bagi mereka dengan keluarganya tercinta. Al hasil,  tukang poto pun kebanjiran order.  Aries hanya tersenyum miris melihat hal itu dan terus bergerak maju menuju pintu Aula yang menunggunya. Dalam hati ia berkata “Bahagianya mereka” gumamnya dalam hati.
            Megah, luas, dan takjub. Hal itu yang ia saksikan ketika masuk ke dalam Aula STKIP Siliwangi Bandung. Panggung dan podium yang gagah di sisi kiri—kanan berjejer meja kehormatan untuk para Rektor, Guru Besar, Dosen-dosen, dan para tamu undangan.  Di bawahnya, berjejer  kursi-kursi bernomor yang sudah penuh diduduki oleh masing-masing peserta wisuda sesuai dengan nomor kursinya. Nomor 531 adalah nomor tempat duduk Aries. Ia mencari-cari kursi bernomor 531, hingga beberapa menit kemudian ia menemukan kursinya yang berada paling belakang. Ia duduk dan menunggu acara dimulai.
***
Assalamualaikum, Wr Wb... salam sejahtera untuk kita semua” 
Semua mata tertuju ke arah suara berasal. Sang pembawa acara telah mengucapkan salam tanda acara akan dimulai. Mukadimah, dan sambutan-sambutan pun saling bergantian disampaikan oleh orang-orang terpenting pada acara itu. Wejangan, ilmu, amanat, dan ucapan selamat dari mereka disampaikan kepada seluruh peserta wisuda. Tak terkecuali kepada para orang tua peserta wisuda,  mereka memberikan selamat atas kesuksesan anak mereka mendapatkan gelar Sarjana. Setelah itu rehat dan mendengarkan lagu sendu yang dibawakan oleh paduan suara Mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung. Lagu Hymne Guru dan lagu daerah.
***
            “Baiklah para hadirin semuanya  kembali pembawa acara melanjutkan acara selanjutnya.
kita lanjutkan kepada acara yang sangat dinanti. PENOBATAN MAHASISWA TERBAIK STKIP SILIWANGI BANDUNG ANGKATAN 2011. Jatuh kepada....?”
Setiap orang yang berada di ruangan itu saling berpandangan, saling menoleh dengan teman duduknya dan saling menebak, kira-kira siapa yang terpilih itu. Ada juga yang hanya diam berharap-harap cemas, semoga dirinya yang terpilih. Ada juga yang hanya tertawa miris, memastikan pasti bukan dirinya. Namun Aries hanya duduk diam, seolah tidak terpengaruh dengan suasana yang sedang terjadi di ruangan itu. Rasanya hal yang sulit bagi dia untuk tersenyum. Baginya, siapapun yang terpanggil ia adalah orang yang sangat beruntung dan hebat.
Keheningan terjadi sesaat sang pembawa acara menentukan detik-detik penentuan siapakah yang mendapatkan penghargaan itu.
“Aries Setiawan Dodi, S.Pd!.........” terdengar suara yang memanggil nama lengkapnya.
Sekali lagi saya panggil, Aries Setiawan Dodi, S.Pd!. dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selamat! Padanya. Beri tepuk tangan! “ kembali sang pembawa acara memanggil namanya.
Riuh tepuk tangan pun bergemuruh di dalam ruangan itu. Orang-orang di luar gedung Aula mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Aries berusaha mengangkat tubuhnya yang terasa berat. Rasa tak percaya, bahagia, kaget bercampur menjadi satu. Membuat tubuhnya menjadi gemetar dan lemas mungkin sedikit shock  karena sungguh di luar dugaannya. Dengan langkah pelan namun pasti, ditemani dengan gemuruh suara tepuk tangan dari seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu Aries berjalan menuju Podium kehormatan itu.  Ia pun memberikan sambutan.
Asslamualaikum Wr. Wb.
Yang terhormat Rektor STKIP Siliwangi Bandung,yang terhormat para Dekan STKIP Siliwangi Bandung, yang saya hormati ketua Jurusan, para dosen dan para tamu undangan. Yang saya banggakan teman-teman peserta wisuda. “
” Puja dan puji mari kita panjatkan pada sang Khalik. Shalawat dan salam kita senandungkan pada baginda Rassul, beserta para keluarganya, sahabatnya, tabiian, dan seluruh umatnya di muka bumi.”
“ saya ucapkan terima kasih dan syukur atas nikmat yang diberikan pada saya. Melalui STKIP Siliwangi Bandung berupa sebuah predikat Mahasiswa terbaik tahun ini. Namun, sepertinya saya kurang pantas.”
Sejenak suasana menjadi hening, dan Aries melanjutkan.
“  Saya tidak pantas mendapatkan ini. Masih banyak para mahasiswa yang kemampuan intelektual dan segalanya di atas saya. Bahkan jauh lebih hebat. Saya yakin, para peserta wisuda di ruangan ini adalah mahasiswa yang punya kemampuan intelektual yang sangat hebat dibandingkan apalah saya ini.”
“ Percayalah!  Saya hanya orang yang beruntung saja, bahkan mungkin kebetulan”
Aries melanjutkan kembali sambutanya.
 “Para hadirin, di luar sana, orang tua anda, orang-orang yang mencintai anda dengan tulus tengah menunggu  anak yang mereka banggakan, keluar dari ruangan ini dengan membawa gelar S1. Anda disambut dengan pelukan, pujian, dan sambutan hangat dari tangan kasih mereka. “
“Sesungguhnya itulah penghargaan yang sebenarnya. Penghargaan yang tulus dari kasih dan sayang seseoarang yang mencintai kita jiwa dan raga.  Penghargaan yang selalu saya impikan selama ini, saya harapkan selama ini sejenak ia terdiam, kemudian melanjutkan kembali sambutanya dengan suara parau.
Para hadirin!, seandainya ada yang mau menukar penghargaan ini dengan pelukan kasih sayang dari orang tua anda. Saya akan memberikanya.”
“karena sesungguhnya penghargaan itu yang ingin saya dapat hari ini. Namun, orang tua saya hanya bisa melihat anaknya ini  berdiri di podium terhormat ini  dari tempat istirahat abadinya”
Setiap mata orang di dalam ruangan itu tertuju padanya. Sesaat menundukan wajah mereka dan menghapus air mata yang keluar sendiri, seolah ingin menyaksikan haru yang terjadi di ruangan itu. Orang-orang yang awalnya terseyum miris, bahkan kecewa menyaksikan hal itu karena kenapa bukan mereka yang terpilih. Kini hanya bisa tertunduk. Mereka malu pada diri mereka karena tengah iri kepada orang yang tidak lebih beruntung dari mereka. Benar apa yang diucapakan Aries, penghargaan yang sesungguhnya datang dari orang tua kita. Apapun keadaannya, bagi mereka anaknya  adalah yang terbaik.
            Beberapa menit kemudian. Aries menutup sambutannya diikuti oleh gemuruh tepuk tangan yang dipersembahkan padanya. Ia turun dari podium kehormatan itu dan disambut standing aplause dari seluruh orang di ruangan itu. Kemudian setelah itu dilanjutkan ke acara pelantikan, kemudian doa dan penutupan. Suasana kembali normal.
            Acara telah usai. Pintu gerbang aula pun terbuka. Tampak di luar pintu aula para orang tua tercinta tengah menantikan untuk memberikan bunga dan memeluk anaknya yang keluar dari pintu aula itu. Para peserta wisuda pun keluar. Dan benar sekali, terlihat sambutan yang hangat, ucapan selamat, bahkan pelukan yang diberikan pada mereka. Betapa bahagianya mereka. Aries hanya melihat mereka yang berbahagia sambil  tersenyum. Ia turut ikut merasakan kebahagian yang teman-temanya rasakan. Walaupun agak sulit.
Selamat ya kawan-kawan” ucapnya dalam hati kepada teman-temanya.
            Ia berjalan  menusuri kerumunan orang yang memadati area kampusnya. Ia terus berusaha keluar menuju gerbang pintu keluar untuk langsung bergegas pulang. Ia menyelusup di antara kerumunan orang. Sampai akhirnya ia dapat lepas dari kerumunan itu.
Alhamdulilah Ya Allah.... akhirnya keluar juga” ucapnya dengan perasaan lega.
Ia menoleh terlebih dahulu  ke arah kampusnya sebelum ia keluar dan pergi meninggalkan tempat di mana ia di didik, dilatih, dan diajarkan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya dari para Dosen tercinta.
Rasanya baru bulan kemarin saya masuk kuliah, sekarang sudah lulus lagi. Hmm... waktu memang begitu cepat melaju.”
Setelah melihat lama dengan lekat-lekat kampus tercintanya, ia segera membalikan badannya kembali untuk menuju ke tempat di mana ia memarkirkan kendaraanya.
Tiba-tiba ia terperanjat.  Ia kaget. Di hadapnya tengah berdiri wajah yang tak asing. Wajah yang selalu ia lihat dalam sanubarinya. Wajah itu adalah Nurfalah.
Assalamualaikum?” suara itu mengucapkan salam.
“wa..walalikum salam. Nufalah sedang apa di sini?”
Nufalah datang tidak sendiri. Ia bersama ayahnya.
“saya dan ayah sengaja datang ingin melihat wisuda Bapak, dan sekaligus kami ingin langsung mengucapkan selamat  pada Bapak
Tersentuh hatinya. Ia tak bisa mengatakan apa-apa selain ucapan
terima kasih Nur... , Pak, atas kesediannya datang kemari, sa..saya bingung harus berkata apa. Selain ucapan terima kasih” dengan suara sedikit parau.
Ungkap Aries yang tak sadar air matanya jatuh ketika mengucapkan itu pada Nurfalah dan Ayahnya. Andai orang tahu saat itu betapa bahagia dan terharunya ia. Ia kini merasa tak sendirian. Kemudian, Ayahanda Nur memberikan pelukan dan ucapan selamat serta mengatakan agar ia sabar dalam menghadapi apapun yang di takdirkan padanya. Karena sesungguhnya ada hikmah di balik setiap duka. Ia tumpahkan segala suka dan duka di dekapan pelukan Ayahanda Nurfalah. 
Hari itu, ada setitik kasih yang Allah berikan padanya. Ia sadar, selain kasih dan perhatian dari ke dua orang tuanya, ternyata ada orang lain yang juga peduli terhadapnya. Nurfalah dan keluarganya adalah orangnya.
****

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "