Follow us

Asallamualikum, Wr.Wb terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga blog ini bermanfaat bagi anda sebagi pelajar atau mahasiswa yang membutuhkan materi pembelajaran. Penulis sadar masih banyak kekurangan dari semua ini, untuk itu mohon saran dan komentarnya agar penulis lebih baik lagi. Terima kasih, Ari Setiadi

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 24 November 2013

CERPEN Setitik Duka dalam Bahagia


Cerpen ini diambil dari kutipan Novel saya. Bagi yang berkenan untuk membacanya silakhkan saja download File nya. File berbentuk PDF




Setitik Duka dalam Bahagia
Penulis : Ari Setiadi, S.Pd


Ranting dan dedaunan yang terjatuh
Tak pernah menyalahkan sang pohon
Karena ia yakin ranting dan dedaunan
Akan terlahir kembali
Menjadi pucuk-pucuk masa depan

Ari Setiadi         
 


SATU

Suatu pagi, di tempat ia mengabdikan ilmu cuacanya agak mendung. Pagi yang biasanya disapa senyum sinar Matahari yang keberadaanya masih sembunyi-sembunyi, seolah enggan Matahari itu memberikan sedikit kehangatan. Tepat di pintu gerbang sekolah, bergiliran Angkot menurunkan penumpang. Tak lain penumpangnya adalah siswa-siswi SMP Muslimin Cililin. Tanpa menunggu lama, begitu keluar dari pintu Angkot mereka segera berjalan menuju kelasnya masing-masing. Tidak lupa mereka membayar ongkos terlebih dahulu.
Beberapa menit kemudian Pak Aries, Guru Bahasa Indonesia di sekolah itu datang.  Langsung ia masuk ke ruangan yang telah disediakan untuk para guru di sekolah itu. Seperti biasa, salam silaturahmi dan saling membalas ucapan salam pun terjadi di ruangan tersebut. Suatu hal yang dianggap  wajib dilakukan oleh guru atau pun orang-orang yang ada di lingkungan sekolah itu. Namun, hal itu juga wajib kita lakukan di manapun dan kepada siapapun. Karena agama Islam mengajarkan hal tersebut. Ucapan Assalamualaikum wajib kita balas dengan Wa aliaikum salam. Karena ucapan tersebut merupakan suatu doa keselamatan pada orang yang mengucapkan, maupun yang menjawabnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 86. Yang artinya.
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu(dengan serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An Nisa : 86)

Langit murung. Tampak setiap orang yang ada di sana, mengeluhkan cuaca pagi itu. Kabut keluh di wajah mereka seolah melengkapi mendungnya pagi itu. Bagaimana tidak?  Jika hujan turun anak-anak sekolah akan kerepotan di hari esok untuk mengeringkan baju seragamnya. Mayoritas anak sekolah tersebut hanya memiliki satu baju seragam putih biru.  Belum lagi, beberapa kelas tidak dapat digunakan jika hujan turun karena atapnya bocor. Sudah beberapa kali itu diperbaiki namun hasilnya tetap sama. Bocor!!  . Beberapa guru juga merasakan hal yang sama. Jika genting kelas bocor, mereka pun tidak dapat melaksanakan tugas mengajarnya. Al hasil materi bersih-bersih pun menjadi alternatif.
Lain lagi dengan Pak Aries. Hari itu cuaca yang mendung ditambah suasana sekolah yang ikut terbawa muramnya cuaca. Tidak mempengaruhinya untuk menambah daftar keluh setiap orang yang ada di sana. Tidak lain, karena hatinya  sedang berbahagia. Besok ia akan di wisuda, di resmikan sebagai salah satu cendikiawan Bahasa dan Sastra Indonesia terbaik di Perguruan Tinggi tempat ia menimba ilmu.  Apapun suasana pagi itu ia tetap memajangkan senyum di wajahnya. Sehingga ia menjadi orang yang paling berbeda pagi itu.
****

DUA

Tet...tet...tetttttttttttt!!!. 
Bel tanda masuk telah berbunyi. Seluruh siswa yang tengah berada di luar kelas mulai memasuki kelasnya masing-masing.  Demikian dengan para guru yang bermuara di ruang guru mulai bersiap-siap untuk memasuki kelas yang tengah di tunggu sang murid. Cuaca pagi itu tidak berubah. Menit menuju jam, jam melaju ke jam berikutnya, tetapi  cuaca tak berubah malah semakin bertambah kelam. Awan hitam kian menyelimuti sang  cakrawala hingga tenggalam  ditelan sang awan pemarah.  Para siswa tampak tidak terlalu terpengaruh oleh cuaca hari itu, tapi kebanyakan dari mereka mengeluhkan cuaca pagi itu. Hingga bel tanda pulangpun terdengar, cuaca  tak berubah.
Suara bel tanda pulang itu bunyinya berbeda sekali seperti biasanya. Suaranya terdengar begitu menggelegar karena diiringi suara petir yang memecah kesunyian. Hujan perlahan-lahan mulai turun. Tiap menit semakin bertambah volumenya. Rintik-rintik hujan yang lembut menjadi garis-garis tegas yang membuat setiap insan menahan diri menerobos tebalnya hujan dan memilih menepi kemudian  menunggu sampai hujan reda.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Tapi hujan tak kunjung reda. Aries mulai resah, dan gamang. Bagaimana tidak!  Ia harus mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi hari esok. Esok adalah hari yang selama 4 tahun ia nantikan.  Perjuanganya, pengabdiannya, kegigihan dan usahanya dalam belajar akan mendapatkan pengakuan berupa gelar seorang dari salah satu dari cendikiawan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terbaik di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. 
Seketika ia terbawa dalam lamunan.  Ditemani gemercik air hujan yang turun deras yang dimuntahkan dari langit.  Esok, keluarganya akan menjadi saksi  sekaligus ia akan membuat bangga mereka  dan  membuktikan bahwa ia dapat menjadi seseorang yang mandiri dan dapat menyelesaikan kuliahnya tanpa membebani ke dua orang tuanya.
Esok, ibu dan ayahnya akan menggandeng ke dua tanggannya menuju mimbar kehormatan di kampus.  Lalu ia akan mencium kaki Ibunya, orang tuanya memeluk dia kemudian akan ia katakan di hadapan para peserta wisuda
“ini aku Anakmu, aku persembahkan ini untuk Ibunda dan Ayahanda”
” Selamat nak, kamu berhasil. Kami bangga padamu.. Kau anak yang saleh, kau anak baik.”
Gunakanlah ilmumu ini untuk segala kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Kami mencintaimu nak” sambung ibunya melanjutkan ucapan sang Ayahanda.
Ayah dan ibunya memeluknya. kemudian, ia mencium ke dua kaki mereka. Hal yang selalu ia lakukan ketika Aries mendapatkan kebahagian. Namun  jika ia mendapatkan kesusahan, ia akan berusaha menyembunyikan itu dari ke dua orang tuanya. Walau mereka tahu bahwa anaknya  sedang mengalami kesulitan,  tetapi mereka mau mengerti keinginan Aries yang selalu berusaha membuat ke dua orang tuanya bahagia. Selalu ia ingat ajaran yang selalu ibunya berikan untuk menemaninya dalam menjalani pasang surut hidup. 
bertakwalah nak. Jika kau mendapat bahagia bersyukurlah, jika kau dapat musibah atau susah bersabarlah. Allah itu menyayangimu dengan caranya sendiri. Berbaik sangkalah padanya”.  Petuah yang sering Ibunya tanamkan. Cobaan memang pasti akan sering kita temukan, baik itu sebuah nikmat ataupun sebuah musibah. Namun percayalah Allah telah mempersiapkan pahala besar bagi mereka yang bersabar tanpa batas. Sebagaimana Allah berfirman.
Sesungguhnya hanya orang-orang uang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas”(Az-Zumar : 10)
***

Duuuuarrrrrrrrrr!!!!!!,,,,duarrrrrrr!!!!
Bunyi petir begitu menggelegar. Seketika membangunkan lamunannya. Tetesan air hujan yang masuk dari genting yang bocor, menetes tepat di wajahnya. Kini wajahnya basah. Tampak jelas ia seperti orang yang sedang menangis.
Kini, ia terbangun dari lamunan kebahagiaanya. Lamunan kebahagian itu seketika lenyap, tergantikan oleh sebuah kenyataan yang pahit. Tragedi kecelakaan dua bulan yang lalu telah merenggut nyawa ke dua orang tuanya. Nyawa hatinya, nyawa hidupnya. Orang yang paling ia cintai kini telah  tiada.
Lamunan dan harapan menjadi sesuatu yang kosong. Keberhasilan dan penghargaan yang ia dapatkan  menjadi sesuatu yang merobek-robek hatinya. Meluluh-lantahkan jiwanya. Jiwanya terombang-ambing di lautan duka. “untuk apa semua ini, untuk apaaaa!!” lirih perih dalam hatinya.
Ke dua kaki yang selalu ingin ia cium, kini hanya segunduk tanah merah tanpa suara. Pelukan hangat yang selalu ayah dan ibunya berikan, kini hanya sebongkah batu nisan bertuliskan nama.
Ya Allah, mengapa kau tidak memberiku kesempatan untuk membahagiakan mereka?”
“Mengapa kau tak memberiku kesempatan untuk ku mencium kaki mereka?”
“Mengapa kau tak  beri  aku kesempatan untuk ku menunjukan, berbahagianya aku sekarang?” Lirihnya dalam hati.
Ia sadar, bahwa setiap manusia yang hidup pastilah akan bertemu kematian jua. Begitupun dirinya. Namun kita tidak tahu kapan? Atau dimana? Ajal kita akan dijemput.
Innalilahi wa innalillahi rojiun” (datang dari Allah dan kembali padanya)
Hujan masih deras. Setiap orang yang tengah berada dekatnya saat berlindung dari hujan- yang kebanyakan adalah murid-muridnya yang sedang menepi menunggu hujan reda, tak menyadari bahwa ia sedang menangis. Tetasan air hujan yang menetes tepat ke wajahnya membuat orang tidak dapat membedakan yang mana air mata.
Tapi tidak dengan muridnya yang satu itu. Salah satu murid terbaik di sekolah itu.
Bapak kenapa? “ tanya Nurfalah padanya.
memangnya Bapak kenapa Nur?
Bapak menangis, ada apa Pak? Tapi maaf Nur lancang”
“Bapak gak apa-apa Nur, seperti menangis ya. Inikan hujan Nur!” Arie mencoba menutupinya.
“Saya yakin  itu bukan air hujan yang menetes ke wajah Bapak, tapi itu air mata Bapak
            Nampaknya sulit bagi Aries untuk mencoba menutupi kesedihannya pada muridnya yang satu itu. Nurfalah terus mendesak ingin tahu, seolah tengah merasakan apa yang dirasakan Aries – Nurfalah menatap dengan mata sayu, keningnya mengerut. Raut kecemasan nampak di wajah mungil itu. Bagaimana tidak, ia sudah menganggap Pak Aries sebagai orang tua ke dua baginya.
            Garis-garis tebal hujan kembali menjadi rintik-rintik. Beberapa menit kemudian menjadi butiran embun. Hujan deras telah reda.  Saat yang tepat untuk Arie memotong pembicaraan.
Allhamdulilah, hujanya reda Nur!” “ Bapak duluan ya, Assalamualaikum.”
Wa..wa allaikum salam..” menjawab salam Pak Arie. Matanya terus memandangi punggung Pak Aries dari belakang yang keluar gerbang yang semakin lama semakin jauh dan terlihat mengecil, kemudian hilang di sebuuah belokan jalan raya. Hatinya merasakan nuansa yang tidak seperti biasanya pada diri gurunya itu. Guru yang selalu tampak ceria, kalem, dan bersahaja kini selalu tampak murung. Setelah itu ia pun beranjak  pulang meninggalkan sekolahnya.
****













TIGA

            Suasana di area kampus sudah sangat ramai pagi itu. Padahal, waktu masih menujukan jam 05.30 WIB.  Sengaja Aries datang lebih awal supaya dapat parkir di dalam area kampus. Namun kenyataan berbeda, pagi buta area parkir dalam kampus sudah penuh dan sesak. Area kampus STKIP Siliwangi Bandung  yang begitu luas hari itu menjadi terlihat menyempit. Karena dipenuhi mobil, motor dan juga para keluarga yang sudah berada di sana sejak pukul 05.00 WIB pagi. Apa boleh buat, ia terpaksa parkir di area Fakultas Kedokteran Unjani –yang jarak dari sana ke area kampusnya cukup jauh. Setelah memarkirkan kendaraannya, ia berjalan menuju Aula Kampus tempat acara wisuda di gelar.
            Sesampainya di gerbang, begitu terperanjatnya ia. Melihat begitu banyak, sesak, orang di dalam area kampus. Untuk sekedar berjalan saja rasanya cukup sulit. Pantas saja, seluruh keluarga ikut untuk mengantar serta menyaksikan anaknya, istrinya, dan siapa saja yang di wisuda waktu itu. Ketika Aries berjalan menuju Aula Kampus, tampak di pinggir-pinggir kelas berjejer para tukang Photographer yang biasa hadir jika ada acara-acara seperti ini. Tampak terlihat sangat sibuknya para tukang poto itu, karena banyak sekali para peserta wisuda yang  tak mau melewatkan moment untuk mengabadikan saat-saat bersejarah bagi mereka dengan keluarganya tercinta. Al hasil,  tukang poto pun kebanjiran order.  Aries hanya tersenyum miris melihat hal itu dan terus bergerak maju menuju pintu Aula yang menunggunya. Dalam hati ia berkata “Bahagianya mereka” gumamnya dalam hati.
            Megah, luas, dan takjub. Hal itu yang ia saksikan ketika masuk ke dalam Aula STKIP Siliwangi Bandung. Panggung dan podium yang gagah di sisi kiri—kanan berjejer meja kehormatan untuk para Rektor, Guru Besar, Dosen-dosen, dan para tamu undangan.  Di bawahnya, berjejer  kursi-kursi bernomor yang sudah penuh diduduki oleh masing-masing peserta wisuda sesuai dengan nomor kursinya. Nomor 531 adalah nomor tempat duduk Aries. Ia mencari-cari kursi bernomor 531, hingga beberapa menit kemudian ia menemukan kursinya yang berada paling belakang. Ia duduk dan menunggu acara dimulai.
***
Assalamualaikum, Wr Wb... salam sejahtera untuk kita semua” 
Semua mata tertuju ke arah suara berasal. Sang pembawa acara telah mengucapkan salam tanda acara akan dimulai. Mukadimah, dan sambutan-sambutan pun saling bergantian disampaikan oleh orang-orang terpenting pada acara itu. Wejangan, ilmu, amanat, dan ucapan selamat dari mereka disampaikan kepada seluruh peserta wisuda. Tak terkecuali kepada para orang tua peserta wisuda,  mereka memberikan selamat atas kesuksesan anak mereka mendapatkan gelar Sarjana. Setelah itu rehat dan mendengarkan lagu sendu yang dibawakan oleh paduan suara Mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung. Lagu Hymne Guru dan lagu daerah.
***
            “Baiklah para hadirin semuanya  kembali pembawa acara melanjutkan acara selanjutnya.
kita lanjutkan kepada acara yang sangat dinanti. PENOBATAN MAHASISWA TERBAIK STKIP SILIWANGI BANDUNG ANGKATAN 2011. Jatuh kepada....?”
Setiap orang yang berada di ruangan itu saling berpandangan, saling menoleh dengan teman duduknya dan saling menebak, kira-kira siapa yang terpilih itu. Ada juga yang hanya diam berharap-harap cemas, semoga dirinya yang terpilih. Ada juga yang hanya tertawa miris, memastikan pasti bukan dirinya. Namun Aries hanya duduk diam, seolah tidak terpengaruh dengan suasana yang sedang terjadi di ruangan itu. Rasanya hal yang sulit bagi dia untuk tersenyum. Baginya, siapapun yang terpanggil ia adalah orang yang sangat beruntung dan hebat.
Keheningan terjadi sesaat sang pembawa acara menentukan detik-detik penentuan siapakah yang mendapatkan penghargaan itu.
“Aries Setiawan Dodi, S.Pd!.........” terdengar suara yang memanggil nama lengkapnya.
Sekali lagi saya panggil, Aries Setiawan Dodi, S.Pd!. dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selamat! Padanya. Beri tepuk tangan! “ kembali sang pembawa acara memanggil namanya.
Riuh tepuk tangan pun bergemuruh di dalam ruangan itu. Orang-orang di luar gedung Aula mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Aries berusaha mengangkat tubuhnya yang terasa berat. Rasa tak percaya, bahagia, kaget bercampur menjadi satu. Membuat tubuhnya menjadi gemetar dan lemas mungkin sedikit shock  karena sungguh di luar dugaannya. Dengan langkah pelan namun pasti, ditemani dengan gemuruh suara tepuk tangan dari seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu Aries berjalan menuju Podium kehormatan itu.  Ia pun memberikan sambutan.
Asslamualaikum Wr. Wb.
Yang terhormat Rektor STKIP Siliwangi Bandung,yang terhormat para Dekan STKIP Siliwangi Bandung, yang saya hormati ketua Jurusan, para dosen dan para tamu undangan. Yang saya banggakan teman-teman peserta wisuda. “
” Puja dan puji mari kita panjatkan pada sang Khalik. Shalawat dan salam kita senandungkan pada baginda Rassul, beserta para keluarganya, sahabatnya, tabiian, dan seluruh umatnya di muka bumi.”
“ saya ucapkan terima kasih dan syukur atas nikmat yang diberikan pada saya. Melalui STKIP Siliwangi Bandung berupa sebuah predikat Mahasiswa terbaik tahun ini. Namun, sepertinya saya kurang pantas.”
Sejenak suasana menjadi hening, dan Aries melanjutkan.
“  Saya tidak pantas mendapatkan ini. Masih banyak para mahasiswa yang kemampuan intelektual dan segalanya di atas saya. Bahkan jauh lebih hebat. Saya yakin, para peserta wisuda di ruangan ini adalah mahasiswa yang punya kemampuan intelektual yang sangat hebat dibandingkan apalah saya ini.”
“ Percayalah!  Saya hanya orang yang beruntung saja, bahkan mungkin kebetulan”
Aries melanjutkan kembali sambutanya.
 “Para hadirin, di luar sana, orang tua anda, orang-orang yang mencintai anda dengan tulus tengah menunggu  anak yang mereka banggakan, keluar dari ruangan ini dengan membawa gelar S1. Anda disambut dengan pelukan, pujian, dan sambutan hangat dari tangan kasih mereka. “
“Sesungguhnya itulah penghargaan yang sebenarnya. Penghargaan yang tulus dari kasih dan sayang seseoarang yang mencintai kita jiwa dan raga.  Penghargaan yang selalu saya impikan selama ini, saya harapkan selama ini sejenak ia terdiam, kemudian melanjutkan kembali sambutanya dengan suara parau.
Para hadirin!, seandainya ada yang mau menukar penghargaan ini dengan pelukan kasih sayang dari orang tua anda. Saya akan memberikanya.”
“karena sesungguhnya penghargaan itu yang ingin saya dapat hari ini. Namun, orang tua saya hanya bisa melihat anaknya ini  berdiri di podium terhormat ini  dari tempat istirahat abadinya”
Setiap mata orang di dalam ruangan itu tertuju padanya. Sesaat menundukan wajah mereka dan menghapus air mata yang keluar sendiri, seolah ingin menyaksikan haru yang terjadi di ruangan itu. Orang-orang yang awalnya terseyum miris, bahkan kecewa menyaksikan hal itu karena kenapa bukan mereka yang terpilih. Kini hanya bisa tertunduk. Mereka malu pada diri mereka karena tengah iri kepada orang yang tidak lebih beruntung dari mereka. Benar apa yang diucapakan Aries, penghargaan yang sesungguhnya datang dari orang tua kita. Apapun keadaannya, bagi mereka anaknya  adalah yang terbaik.
            Beberapa menit kemudian. Aries menutup sambutannya diikuti oleh gemuruh tepuk tangan yang dipersembahkan padanya. Ia turun dari podium kehormatan itu dan disambut standing aplause dari seluruh orang di ruangan itu. Kemudian setelah itu dilanjutkan ke acara pelantikan, kemudian doa dan penutupan. Suasana kembali normal.
            Acara telah usai. Pintu gerbang aula pun terbuka. Tampak di luar pintu aula para orang tua tercinta tengah menantikan untuk memberikan bunga dan memeluk anaknya yang keluar dari pintu aula itu. Para peserta wisuda pun keluar. Dan benar sekali, terlihat sambutan yang hangat, ucapan selamat, bahkan pelukan yang diberikan pada mereka. Betapa bahagianya mereka. Aries hanya melihat mereka yang berbahagia sambil  tersenyum. Ia turut ikut merasakan kebahagian yang teman-temanya rasakan. Walaupun agak sulit.
Selamat ya kawan-kawan” ucapnya dalam hati kepada teman-temanya.
            Ia berjalan  menusuri kerumunan orang yang memadati area kampusnya. Ia terus berusaha keluar menuju gerbang pintu keluar untuk langsung bergegas pulang. Ia menyelusup di antara kerumunan orang. Sampai akhirnya ia dapat lepas dari kerumunan itu.
Alhamdulilah Ya Allah.... akhirnya keluar juga” ucapnya dengan perasaan lega.
Ia menoleh terlebih dahulu  ke arah kampusnya sebelum ia keluar dan pergi meninggalkan tempat di mana ia di didik, dilatih, dan diajarkan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya dari para Dosen tercinta.
Rasanya baru bulan kemarin saya masuk kuliah, sekarang sudah lulus lagi. Hmm... waktu memang begitu cepat melaju.”
Setelah melihat lama dengan lekat-lekat kampus tercintanya, ia segera membalikan badannya kembali untuk menuju ke tempat di mana ia memarkirkan kendaraanya.
Tiba-tiba ia terperanjat.  Ia kaget. Di hadapnya tengah berdiri wajah yang tak asing. Wajah yang selalu ia lihat dalam sanubarinya. Wajah itu adalah Nurfalah.
Assalamualaikum?” suara itu mengucapkan salam.
“wa..walalikum salam. Nufalah sedang apa di sini?”
Nufalah datang tidak sendiri. Ia bersama ayahnya.
“saya dan ayah sengaja datang ingin melihat wisuda Bapak, dan sekaligus kami ingin langsung mengucapkan selamat  pada Bapak
Tersentuh hatinya. Ia tak bisa mengatakan apa-apa selain ucapan
terima kasih Nur... , Pak, atas kesediannya datang kemari, sa..saya bingung harus berkata apa. Selain ucapan terima kasih” dengan suara sedikit parau.
Ungkap Aries yang tak sadar air matanya jatuh ketika mengucapkan itu pada Nurfalah dan Ayahnya. Andai orang tahu saat itu betapa bahagia dan terharunya ia. Ia kini merasa tak sendirian. Kemudian, Ayahanda Nur memberikan pelukan dan ucapan selamat serta mengatakan agar ia sabar dalam menghadapi apapun yang di takdirkan padanya. Karena sesungguhnya ada hikmah di balik setiap duka. Ia tumpahkan segala suka dan duka di dekapan pelukan Ayahanda Nurfalah. 
Hari itu, ada setitik kasih yang Allah berikan padanya. Ia sadar, selain kasih dan perhatian dari ke dua orang tuanya, ternyata ada orang lain yang juga peduli terhadapnya. Nurfalah dan keluarganya adalah orangnya.
****

Rabu, 13 November 2013

CERPEN MOTIVASI PENGGUGAH JIWA


CERPEN
Karya  Ari Setiadi
Ini adalah suatu kisah nyata yang saya tulis berdasarkan kisah seseorang yang berada diantara insan di lingkungan SMP Muslimin Cililin. Suatu kisah yang saya ceritakan untuk mengenal dan mengingatkan kita bahwa ada sisi lain yang sering kita lupakan keberadaannya.
Semoga cerita fiksi ini dapat menggugah hati kita, untuk senantiasa peduli dengan keadaan sekitar bersamaan dengan kepentingan kita masing-masing.


NENEK TUA PENCARI SAMPAH

Kering kurus raganya. Begitupun juga dengan nasibnya. Ia tidak akrab dengan teman kita yang bernama lelah. Bahkan ia sama sekali tidak ingin mengenalnya. Di saat setiap orang sangat intim dengan teman kita yang bernama lelah, namun tidak baginya.
Panas terik sang surya di SMP Muslimin siang itu begitu gagah. Pintu dan jendela tiap kelas dibuka lebar agar sedikit mengurangi rasa panas. Setiap orang di sana banyak yang mengeluhkan pancaran yang diberikan sang surya. Namun bagi nenek tua itu , sang surya menjadi teman baginya. Panas nya pancaran sinar tak ia hiraukan—seakan sengatan panas itu terasa dingin beradu dengan kulitnya. Beban yang ia pikul di belakang punggung ranting raganya, terasa ringan seperti memikul sehelai kain atau kapas. Karung yang berisi botol-botol bekas minuman, plastik, dan sejenisnya -- yang ia pungut di halaman bahkan di dalam kelas, telah menjadi penyelamat dalam hidupnya. Ia gantungkan hidupnya pada butir-butir botol plastik bekas yang ia cari dan temukan di lingkungan sekolah.
****

Suasana di sekolah SMP Muslimin siang itu sangatlah ramai. Terlebih-lebih menjelang waktu istirahat dan waktu pulang. Jika bel sekolah tanda istirahat berbunyi, seluruh siswa berhamburan untuk mencari teman perut mereka. Yah, jajan.  Suatu anugrah besar bagi para pedagang yang ada disekitar lingkungan sekolah itu. “Bagaimana tidak?” Kehadiran anak-anak sekolah merupakan rejeki besar karena dagangan mereka diserbu dan tentunya mereka mendapatkan keuntungan  besar yang tidak jarang mereka dapatkan. Kecuali jika libur tiba.
            Tepatnya pukul  10.10 WIB, bel berbunyi dan seluruh siswa istirahat dari jam belajarnya. Yusuf, seperti biasa jajan di kantin sekolah bersama teman-temanya. Tina, Erlina, Ihram adalah teman dekatnya di kelas maupun di eskul OSIS yang mereka ikuti. Tidak hanya itu saja dikelas yang lain Yusuf mempunyai banyak teman, baik yang mengikuti Eskul OSIS ataupun Eskul lainya. Ia sangat aktif dalam Eskulnya. Yusuf sangat akrab dan disukai teman-temannya. Tidak lain karena ia sangat baik, sopan, perhatian, setia kawan, aktif dalam segala hal, dan juga menghargai dan menghormati teman-temannya. Yusuf tidaklah terlalu pintar. Banyak sekali teman-temanya yang mungkin kemampuan intelektualnya jauh dibandingkan dia. Namun, suatu kelebihan yang tak dimiliki siswa lain—Ia orang yang tak pernah sombong, pejuang materi yang tak pantang menyerah. Kejujuran adalah senjata andalanya. Sehingga tak sedikit guru-guru dan teman-temanya mempercayainya.
            Suatu ketika, Yusuf sedang ngobrol asik bersama teman-temannya dengan sesekali makanan yang ia beli dari kantin dekat kelasnya itu masuk satu per satu ke ruang mulutnya. kadang ia langsung menelanya. Begitupun teman-temanya.  Bersamaan dengan itu, tampak dari halaman di depan kelas mereka,  nenek tua yang sedang memungut sampah plastik  bekas minuman jajanan anak sekolah yang berserakan di kulit bumi dalam lingkungan sekolah SMP Muslimin Cililin. Sesekali nenek tua itu mengambilnya dari tong sampah yang ada disekolah.
Satu, dua, tiga botol bekas minuman itu masuk ke dalam karung yang digendongnya.
            Cuaca siang itu panas sekali. Namun sepertinya tidak dihiraukan oleh nenek tua itu. Tubuhnya yang renta, raganya  sebongkah  ranting, terlihat jelas kulitnya menempel ditulang yang kecil itu. Ia berjalan pelan dengan sedikit membungkuk. Tubuhnya yang kurus memikul karung yang berisi penyelamat hidupnya di belakang punggung kecil itu. Yusuf saat itu berhenti melahap makanan yang ia makan. Matanya tergenang air mata. Raut wajah yang tadi ceria, kini sendu.
      Suf.. kamu kenapa, tadi baik-baik saja?” begitulah Tina dan teman-temanya memanggilnya.
     coba kalian lihat dibelakang kalian, lihat nenek itu” dengan suara pelan yusuf menjawab.
     kita di sini asik terbahak-bahak. Bisa bersenang-senang tanpa perlu memikirkan apapun.  Kita juga terlalu mudah untuk mendapatkan sesuatu, tinggal minta sama orang tua kita. Makanan apa yang tak mampu kita beli di sekolah ini. Semuanya kita bisa
Yusuf melanjutkan.
            “tapi coba kalian lihat nenek itu. Usianya sudah terlalu tua untuk bekerja seperti itu. Usia dimana orang harus sudah mulai istirahat dan tidak boleh kerja berat. Tetapi nenek itu dengan segala sisa tenaganya ia memungut sampah2  yang aku yakin untuk ia tukar dengan sesuap nasi.  Masih pantaskah kita diam melihatnya?”
Menyusul Yusuf, satu persatu teman-temanya berhenti mengunyah makanan yang mereka beli di kantin sekolah. Mereka diam, memandangi nenek tua itu dengan wajah sedikit tertunduk dan mata yang awalnya riang menjadi sayu. Seakan mereka merasakan kesedihan yang mendalam ketika Yusuf berbicara sambil memandangi nenek tua itu.
     “apa yang harus kita lakukan untuk membantu nenek itu?” suara Tina memecah keheningan mereka.
    “entahlah, yang jelas kita tidak bisa berdiam diri melihat nenek itu” Yusuf menjawab.
    “bagaimana kalau kita sekarang kordinasi dengan seluruh anggota OSIS dan lainya untuk menggalang dana bantuan untuk nenek itu? Erliana mengajukan saran.
    “betul itu Erliana, tapi tidak dapat secepat itu. Semunya harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan pembina kita Pak Agus Sopandi.”
Yusuf melanjutkan sanggahannya.
“selain itu, sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi. Jadi kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk mempersiapkannya! Hmm.... bagaimana nanti saja setelah pulang sekolah kita kumpul dulu?”
” Setujuuuu!!!!!..” sontak teman-temanya menjawab secara serempak.
****

Tetttttttttttttttttttttttttttttttttt!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!..........
Bel tanda pulang berbunyi. Begitulah kira-kira bunyinya he he...
Seluruh siswa berhamburan keluar kemudian melaju dan mengarah  kepada satu titik. Titik itu adalah gerbang pintu sekolah. Di luar kendaraan umum sudah menunggu anak-anak sekolah dan siap mengantarkan mereka menuju tempat tinggalnya. Tidak sedikit juga siswa yang dijemput oleh keluarganya jika waktu pulang sudah tiba. Begitu ramai suasana itu.
Namun, tidak bagi Yusuf, Tina, Erlina serta teman-teman dari anggota Eskul lainnya. Mereka hendak menunggu pembina mereka Pak Agus Sopandi. Mereka sudah merencakan suatu kegiatan untuk menggalang dana bantuan, dan meminta ijin dari pembina mereka.
            Dari dalam pintu ruangan Tata Usaha, nampak seseorang dengan tubuh tinggi atletis keluar dan menuju ke arah Yusuf dan teman-temannya. Kulitnya hitam dengan mata yang tajam. Berhiaskan kalung peluit yang selalu melekat dan melingkar di lehernya. Dialah Pak Agus Sopandi.
“Asallamualaikum?”
”wa...waalaikum salam pak!” serentak yusuf dan teman-temanya menjawab.
“Bapak dengar, ada yang mau kalian bicarakan dengan bapak?” Pak Agus bertanya.

Setelah itu, anak-anakpun menceritakan semuanya dan juga keinginan mereka untuk membantu nenek tua itu dengan cara menggalang dana bantuan.
Pak Agus pun sangat mendukung kegiatan ini dan segera membuatkan surat ijin Penggalangan dana bantuan itu. Pak Agus sangat kagum dan bangga atas jiwa sosial yang ditunjukan anak-anak didiknya. Selama ini, mereka hanya patuh dan bergerak sesuai intruksi pembinanya. Kini, jiwa sosial mereka terbangun dengan melihat penderitaan seorang nenek pemulung sampah yang sering masuk kelingkungan sekolah.
****

Paginya. Acara penggalangan danapun dilakukan ketika dalam kegiatan belajar. Kenapa seperti itu, tidak lain karena pada saat jam belajar seluruh siswa dan guru berada dalam kelas. Walau waktu belajar mereka terganggu sedikit, tetapi mereka sangat senang.
            Mendengar penjelasan dari kegiatan penggalangan dana itu, ternyata banyak sekali siswa yang ikut berpartisipasi mendukung kegiatan itu berupa dana yang mereka  berikan. Sehingga dana yang terkumpul pun banyak sekali. Tidak menunggu waktu lama, Yusuf, Tina, Santi, dan Ihram yang menjadi perwakilan untuk menyerahkan dana tersebut berangkat menuju rumah nenek itu.  Sebelum kegiatan penggalangan tersebut, terlebih dahulu mereka mencari informasi tentang keberadaan dan alamat rumah nenek itu dari masyarakat yang tinggal dekat dengan gedung sekolah.
            Gayung bersambut.  Nenek itu sedang berada dirumahnya yang kecil. Bangunan kayu yang sudah  terlihat  rapuh dan tua. Mungkin usia rumah itu  lebih tua dari usia pemiliknya. Yusuf  dan teman-temanya hanya berdiri diam dan memandang pemandangan rumah yang begitu menyedihkan. Kalau bisa, Yusuf ingin menangis melihat semua itu. Namun  ia tahan pilu itu dengan keteguhan hatinya.
Tak lama setelah itu, nenek itu keluar dari dalam rumahnya.
“Mau pada kemana dek?”  suara pelan nenek itu bertanya.
Yusuf dan teman-temanya saling berpandangan dan berharap ada yang dapat memulai pembicaraan untuk mengutarakan maksud kedatangan mereka. Tiba-tiba terdengar suara perempuan memulai pembicaraan.
“Asallamualaikum nek? Kami hendak bertemu nenek” Tina memulai untuk mengutarakan maksud.
“wa allaikum salam nak. Kalau begitu mari masuk. Maaf rumah nenek seperti ini” nenek menjawab
“Maaf nek, be..begini. maksud kedatangan kami -- ingin memberikan bantuan atas nama seluruh siswa-siswi SMP Muslimin Cililin berupa dana yang nantinya dapat nenek gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, juga dapat nenek gunakan untuk berjualan. Nantinya nenek tidak perlu lagi kerja capek-capek memungut sampah. Nenek bisa berdagang di dekat sekolah.”  Ucap tina.
Namun nenek itu tidak menjawab. Hanya terdiam beberapa saat. Kemudian nenek menjawab melalui  tetesan demi tetesan air mata yang keluar dari matanya yang sayu. Ditemani isak tangis yang membuat suasana rumah itu sunyi. Setelah beberapa saat, nenek itu memandangi anak-anak dihadapannya. Dan berkata.
“andai saja nenek punya anak seperti kalian, alangkah bahagianya”
“nenek tidak punya siapa-siapa disini, bahkan diluarpun hanya sepi yang nenek rasakan. Banyak sekali orang di luar sana, tetapi sepertinya nenek merasa sendiri. Nenek rasa tidak ada lagi yang peduli sama nenek yang tua ini”
tetapi nenek baru menyadari. Dengan datangya kalian ke sini, nenek merasa tidak sendiri. Terimakasih Ya Allah, kau telah ciptakan anak-anak baik ini di dunia. Semoga kalian menjadi orang yang berguna dan dikabulkan semua cita-cita kalian oleh Allah nak!.”

    “Amin Ya Robb” serentak Yusuf dan teman-temanya mengamini doa nenek itu.
Lalu kemudian Tina merangkul dan mencium tangan nenek itu. Kemudian Yusuf dan teman yang lainya melakukan hal yang sama. Setelah lama mereka berada di rumah nenek itu, kemudian Yusuf dan kawan-kawanpun pamit.
“Nek, kami pulang dulu ya.”  ucap Yusuf
“jaga diri nenek baik-baik, jangan kerja terlalu berat” Tina menambahkan.
“Kalau begitu kami pulang dulu nek, Asallamualaikum!” Erlina mengakhiri pembicaraan dengan salam.

Setibanya di Sekolah. Yusuf, Tina, Ihram dan Santi pun disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari seluruh siswa-siswi SMP Muslimin Cililin. Karena telah membuat seluruh siswa dan juga guru bangga atas tindakan terpuji yang mereka lakukan.

Selesai


You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "