1. Bandung Tunggu Aku
Matahari
menyapaku dengan hangat sinarnya.
Membuat angin dingin yang menembus kulitku ini sedikit terobati. Segalanya
tampak cerah, pertanda langit tak akan menangis seperti hari kemarin. Kemarin,
langit tersedu-sedu mengguyur tempat di
mana aku tinggal. Babakan Jalur, Cipongkor.
Hari
ini adalah hari dimana aku akan pergi dengan membawa nama besar sekolahku, kepercayaan
guru-guruku, dan teman-temanku, untuk mengikuti lomba Duta Sanitasi Tingkat
Provinsi di Kota Bandung. Aku sangat senang
bisa lolos dalam tahapan seleksi tingkat kabupaten, dan kini aku
mewakili Kabupaten Bandung Barat dan SMP Muslimiin untuk mengikuti Lomba Duta
Sanitasi Tingkat Provinsi se Jawa Barat.
Pagi-pagi
sekali aku sudah tiba di sekolah. Kebetulan rumah ku tak jauh dari tempat aku
sekolah, dengan jalan kaki rasanya cukup bagiku untuk tiba tanpa terlambat.
Tak
lama , Pak Ari datang. Ia adalah guru Bahasa Indonesia ku, pembimbing dalam
Lomba Karya Tulis, juga yang akan mengantarku ke tempat perlombaan nanti, Hotel
Aston Bandung. Kemudian kami pun berangkat menuju lokasi. Hanya 1 jam, waktu
yang kami perlukan untuk tiba di sana. Bandung I’m Coming!!!!
Malangnya,
kami tiba terlalu dini di sana. Saking dininya, pendaftaran Lomba tersebut
belum dibuka! Al hasil kami harus menunggu hingga Pukul 13.00, padahal waktu
sekarang baru Pukul 10.00 pagi. Hmm.... cape deh!.
Pak
Ari mengajakku untuk menghabiskan waktu dengan mengajakku ke sebuah warung kopi
tak jauh dari hotel itu. kami bercerita
banyak di sana, hingga tak terasa waktu pun terseret mendekati Pukul 12.30.
Kami
kembali, pendaftaran pun telah dibuka. Di tempat itu Pak Eli, pembimbing dari
Dinas KBB telah menunggu. Kami daftar, aku diberi Lock Card untuk cek in di
kamar hotel yang telah disediakan panitia. Selama 3 hari aku menginap di sana. Aku
tidak sendiri di kamar itu, ada satu orang peserta dari KBB juga yang menjadi
teman sekamarku. Jadi total ada 2 siswa yang mewakili KBB untuk lomba tersebut,
dan 2 siswa yang ada di kamarku.
Setelah
memastikan kondisi kamar yang aku tinggali, dan memastikan keadaannya baik, Pak
Ari pulang. Tugasnya mengantarku telah selesai. Beliau akan datang ke sini jika
lomba telah usai dan aku diperbolehkan untuk pulang.
Pukul
16.30 WIB, aku dan teman sekamarku—sebut saja Winda, diinstruksikan ke lobi
untuk makan malam. Setelah itu seluruh peserta memasuki ruang Granada 1 untuk
memulai acara Pembukaan Lomba Duta Sanitasi. Acara berlangsung kira-kira Pukul
19.30. Acara itu di isi dengan
sambutan-sambutan dari pejabat, dan pengisi acara lainnya. Kemudian selesai
pukul 22.00. Dan kami kembali ke kamar untuk istirahat karena waktu sudah
larut.
Keesokan
harinya, pukul 06.30 pagi setiap peserta lomba dan pembimbing diwajibkan ikut
senam pagi zumbi di halaman hotel.
Mulanya aku
asing dengan nama senam zumbi, tapi
setelah mengikutinya ternyata asik banget. Penuh canda dan tawa adalah bagian yang
tidak lepas dari senam itu, tujuannya mungkin untuk menghilangkan sedikit
ketegangan bagi peserta lomba. Yah! benar juga, rasa tegang dan malu, sedikit
hilang setelah bersama-sama melakukan senam tersebut. Senam yang aneh!, hehehe.
Setelah
itu, makan pagi, mandi, memasuki ruang Granada 1 dan menyaksikan Pentas Seni
dari beberapa peserta lomba hingga waktu makan siang tiba. Di sana aku hanya
menjadi penonton yang budiman, dan menyaksikan pentas demi pentas berlalu.
Ba’da
Dhuhur telah berlalu. Lomba yang dinanti akan segera dimulai. Hatiku berdebar,
jantungku berdetak tak sesuai ritme, bulu kuduku agak merinding, mungkin ini
yang dinamakan nerves.
Kata Pak
Ari, perasaan seperti itu adalah normal bagi manusia yang hidup, hanya saja
bagaimana cara kita mengatasi nerves itu sendiri. Yang aku lakukan hanya berdoa
saja, serahkan semuanya pada yang di
atas. Bukan cicak ya! Tapi tuhan.
Lomba
tersebut dilakukan di dua ruangan yang berbeda. Untuk lomba Karya Tulis
dilakukan di ruang Granada 1, sedangkan Lomba Poster di Granada 2. Waktu yang
dberikan pada peserta lomba adalah 3 jam. 3 jam yang dberikan untuk membuat
Karya Tulis.
Sempat
terpikir dalam benaku,”lolos gak ya?”
kata itu berulang kali muncul dalam pikiranku dan menggangu konsentrasiku. Tapi
memikirkannya adalah hal sia-sia, kalau tidak diiringi dengan usaha yang
konkrit. Sekarang aku gak peduli menang apa tidak, yang terpenting adalah
bagaimana sekarang aku harus membuat karya ilmiah sebaik mungkin. Menang kalah
urusan nanti.
Bel
berbunyi nyaring. Waktu dihentikan karena telah habis. Tulisannku dikumpulkan
dan aku melanjutkan lomba penyuluhan Tahap 1. Lomba Duta sanitasi terdiri dari
2 Tahap lomba.
Tahap 1
terdiri dari menulis karya tulis, dan penyuluhan .
Tahap 2 penyuluhan
pamungkas, penentuan pemenang lomba.
Nomor
urut 11 adalah nomor yang aku dapatkan. Setelah menunggu peserta lain dari
nomor ke nomor, sampailah pada giliranku untuk presentasi.
Aduhh....
rasa tegang tetap saja membelenggu hatiku. Namun aku berusaha
menyembunyikannya. Aku berusaha menampilkan presentasi sebaik yang aku punya.
Hasilnya seperti apa pun, aku tak memikirkannya, walau dalam hati kecilku aku
berharap meraih kemenangan.
Setelah
lomba Tahap 1 berakhir, aku kembali ke kamarku untuk istirahat sejenak sebelum
akhirnya nanti menunaikan Shalat magrib dan makan malam bersama.
Seperti
kemarin, selesai makan malam kami memasuki ruang Granada 1 untuk menyaksikan
acara dengan tema “BERBAGI PENGALAMAN
TENTANG AKSI DUTA SANITASI” oleh para pemenang Lomba Duta Sanitasi Tahun
2013.
Acara
itu diisi oleh narasumber2 yang tak lain adalah pemenang lomba tersebut pada
tahun lalu. Diantaranya : Latifah Azzahra, Fanny lutfiana, Fawaz Misbah, Sarah
Maulidia Lestari, dan Muhamad Saeful Anwar. Itu pemenang tahun lalu lo! Tahun
sekarang, Insya Allah nama aku tertulis di sana. Amin....
Dan acara
itu berakhir hingga pukul 22.30 WIB.
***
2. Hari ke dua.
Pagi-pagi
seperti biasa sarapan pagi di lobi. Selanjutnya para peserta bersiap-siap
berangkat untuk melakukan kunjungan ke SMPN 1 Ciparay. Kami pun berangkat
secara rombongan dengan tertib menggunakan sebuah BUS. Dalam perjalanan, tak
henti-hentinya kami bernyanyi riang. Sekedar untuk menghilangkan kantuk dan
penat selama kami berada di hotel. Dan beberapa menit kemudian kami telah
sampai di lokasi tersebut.
Kami
dibagi menjadi kelompok-kelompok. Untuk memudahkan identitas, kami diberi label
dan pita yang melipat di kerah tangan baju kami. Kami diajak melihat
implementasi sanitasi di sekolah tersebut.
Di sana aku
lihat Kebun, Bank Sampah, dan togas yang terdekorasi rapih. Selanjutnya kami
bergerak maju menuju ruang kelas Sekolah itu, sungguh, sungguh bersih, rapih,
dan layak menjadi kelas ideal untuk sekolah-sekolah pada umumnya. Hmmm....
kalau dilihat-lihat hampir mirip dengan Sekolah ku tuh, hihihihi. Ngeyelll.
Mataku
terus dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan indah yang ada di sana. Belum
lagi terdapat sebuah kantin ideal menurut ku. Kursi dan meja pelanggan, area
sekitar kantin yang begitu terawat membuatku terpukau. Sungguh ingin sekali aku
menjadikan sekolahku lebih dari ini.
Setelah
lelah aku melihat-lihat, aku putuskan untuk istirahat dan menunggu panitia
untuk kembali membwa kami pulang ke hotel. Waktu itu pun tiba, kami bergegas
untuk kembali menuju hotel. Sebelum
pulang ternyata kami dibawa dahulu ke Desa Jelekong. Di desa itu kami melihat
banyak lukisan karya anak bangsa dan sekaligus menyaksikan pentas seni seorang
dalang cilik, yang tidak lain adalah cucu dari Asep Sunandar seorang tokoh
dalang nasional kita.
Pukul
19.30 kami tiba. Kami memasuki ruang Granada dan kembali melihat pertunjukan
pentas seni, pada pensi kali ini aku melihat berbagai pakaian dan gaun yang
cantik-cantik. Dan yang membuat aku terkagum-kagum adalah bahan yang digunakan
untuk membuatnya itu loo... “Sampah!”
coba bayangkan? Kebayang gak sih? Sampah
jadi pakaian yang cantik? Pakaian cantik dari sampah? sumpah!!! Sampah! Enelan jeung!
Hebat
banget mereka. Kreatif, beautiful dan”AMAZING!!!” kata itu yang tepat mewakili
kekagumanku saat itu. sampai akhirnya kami pun istirahat di kamar
masing-masing. Aku langsung tidur saja, agar esok hari terasa lebih cepat dan
aku gak sabar ingin tahu, kira-kira siapa saja yang lolos menuju 10 besar dan
berlomba di penyuluhan Tahap 2. Tahap 2 adalah
penentuan atau lomba pamungkas Duta Sabitas se Jabar itu. hmmm.... semoga aku
lolos ya Allah. Amin..
***
3.
Hari Terakhir
Pagi
ini terasa begitu cepat. Waktu seolah berputar begitu kilat. Rasanya baru
kemarin aku datang, kini... hari ini akan menjadi akhir dari rangkaian acara
yang aku lalui.
Adalah hari
yang aku tunggu, karena tak tahan rasanya aku rindu rumah. Namun, ada sesuatu
yang mengganjal dalam nurani ini dalam menyongsong pagi terakhir di Hotel
Aston. Itu adalah bagaimana cara aku
pulang dengan membawa gelar titel Juara
saat kembali nanti. Mereka... Kepala Sekolah, guru, teman-teman, dan keluargaku
pasti menanyakan itu, dan mereka mengharapkannya. Semuanya membentuk suatu
beban dalam pundakku yang harus aku pikul selama mengikuti lomba di sini.
Semua
peserta kembali memasuki ruang Granada 1. Seperti biasa, panitia menyuguhkan
berbagai pentas seni dari mulai tarian daerah hingga pukul 12.00.
Jujur! Rasa
kagumku terhadap tarian2 yang ditampilkan kali ini sedikit kurang kunikmati.
Tidak lain, karena perasaanku tengah campur aduk tak karuan menantikan lolos
tidaknya aku menuju 10 besar. Hati dan pikiranku berkecamuk. Bibirku pun hanya
tersenyum kecut, senyum yang aku paksakan pabila aku bertemu sapa dengan
teman-teman di sana. Senyum yang hanya sekedar menyembunyikan raut ketegangan
yang tengah melanda batinku. Hhhhhh......
Waktu
yang ditunggu pun tiba. Pukul 12.30 akan dipanggil satu persatu peserta yang
lolos untuk melakukan penyuluhan tahap 2 di ruang tersebut. pembawa acara
memulai acara tersebut. Satu nama telah dipanggil ke atas panggung, dan ia
mempresentasikan karyanya. Sementara Dewan Juri tulas-tulis pada catatan
kecilnya, entah nulis apa aku tak tahu.
Peserta
ke dua yang dipanggil nanti aku harap adalah
aku. Hingga sang MC pun memanggil sebuah nama, nama tersebut adalah....?
hmss.. bukan aku, maaf....
Baru dua
yang dipanggil, kesempatanku masih terbuka lebar, jadi aku menguatkan diri
untuk menunggu, menunggu giliranku.
Sampai
akhirnya, peserta ke 3, ke 4, ke 5, ke 6, ke 7, bahkan samai ke 8 namaku belum
juga disebut. Hal itu membuat hatiku mulai gamang, jiwaku mulai kritis,
ambisiku mulai pesimis. Hanya tinggal dua lagi yang tersisa dari 10 besar. Aku
hanya bisa berdoa, agar Tuhan memberikan aku kesempatan satu kali saja. Doa
terus mengalir dari hatiku, berharap 2 yang tersisa itu adalah aku salah
satunya.
Hatiku
berdegup sangat hebat saat menanti nama siapa yang akan disebutkan sang MC.
Sampai akhirnya, sebuah nama kembali disebut dan itu adalah seorang siswa dari
sekolah lain. Bukan sekolahku. Bukan aku. Lagi-lagi seperti itu.
Satu
orang lagi. Ya tinggal satu lagi. Nuansa penantian yang ini adalah nuansa yang
paling menegangkan dari penantian2 yang tlah dilalui. Satu orang lagi yang
berhak maju ke 10 besar untuk berlomba menentukan siapa juaranya. Membuat
suasana di Granada 1 sangat mencekam, begitupun dengan aku.
Pembawa
acara pun memecah keheningan yang mencekam tersebut. Aku terus berdoa agar
Tuhan memberikanku yang terbaik.
“Dan....
satu orang terakhir yang lolos adalah!!” MC berkata.
“Diego........
berikan tepuk tangan yang meriah untuk Diego!” Gemuruh tepuk tangan pun
mengalir setelah nama itu di umumkan.
Aku
terpaku, tubuhku gemetar, hatiku remuk, tak percaya dengan apa yang kudengar.
Mencoba
tidak menunjukan kekecewaanku pada yang lain, aku angkat ke dua tanganku walau
sangat berat sekali untuk memberikan satu atau dua tepukan. Ya... hanya satu
tepukan yang sanggup aku berikan, kecewa yang berlebih membuat tanganku terasa
berat.
Aku
kembali duduk, wajahku hanya bisa tertunduk. Sekarang orang-orang bisa melihat
ekspresiku, aku tak bisa lagi berakting. Aku kecewa, aku gagal, apa yang aku
katakan nanti pada semua yang menaruh harap padaku. Rasanya ingin aku menangis.
Tak mampu memberikan apa-apa pada mereka, walau hanya peringkat 10. Namun
nyatanya, masuk 10 besar pun aku tidak. Malangnya aku.
“Kenapa
Tin..?” tiba2 seseorang menepuk pundakku dari belakang. Akupun menengok ke arah
orang tersebut.
“Ehh..
Bapak, bapak sudah di sini?” tanyaku pada orang itu, tak lain adalah Pak Ari.
“Yah,,
sudah. Bahkan dari tadi.”
“Maaf
pak, Tina Gagal” kataku sambil menunundukan wajahku.
“Sudahlah..
tidak apa-apa. Bapak mengerti perasaanmu saat ini” katanya padaku.
“Inilah
yang sering bapak katakan padamu tin! Jika kamu mengikuti lomba ini dengan
berharap menang, maka hasilnya jika kamu menang akan sangat bahagia, namun jika
sebaliknya kamu akan sangat kecewa dan terpukul.” Aku mendengarkan ucapan pak
Ari.
“namun,
jika kamu mengikuti lomba ini hanya sebatas ingin mengukur sejauh mana
kemampuanmu, maka kamu akan mengerti bahwa sesungguhnya banyak ilmu dan hikmah
yang didapat lebih banyak dari pada rasa kecewa itu sendiri. Inilah garis yang semetara kamu capai dalam
usahamu, sisanya nanti kamu bisa latih lagi. Dan suatu saat keberhasilan
itu akan kamu dapat setelah kamu mampu merasakan dan melewati kegagalan.” Kata
pak Ari menguatkanku.
“Tidak
ada keberhasilan yang diperoleh dengan cara yang mudah Tin. Selama ini apa
usaha kamu telah maksmal? Mungkin yang di sana, mereka itu begitu luar biasa
perjuangannya dibanding kita. Jika kita mau, kita bisa usaha lebih keras lagi
dari yang mereka lakukan Tin! Suatu saat Insya Allah waktunya buat kamu.”
Kata-kata
beliau seolah memberikan nyawa baru bagiku. Ya benar, benar sekalii apa yang
beliau katakan. Selama ini memang hanya sebatas ini usahaku. Aku memang belum
maksimal. Aku harus bangkit. Kegagalan ini adalah cambuk bagiku untuk blajar
lebih maksimal dari mereka yang menang hari ini. Dan aku pastikan setelah ini,
aku akan menjadi lebih baik, bahkan lebih baik lagi. Insya Allah. Manjada Wa
jada!
Cerita
selanjutnya, pengumuman pemenang dan.........?
Go Back to My Home...... i miss, i miss, i
misss you my Home....................! Whait me, I’m coming!
Tamat.
Salam.,
Tins