Follow us

Asallamualikum, Wr.Wb terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga blog ini bermanfaat bagi anda sebagi pelajar atau mahasiswa yang membutuhkan materi pembelajaran. Penulis sadar masih banyak kekurangan dari semua ini, untuk itu mohon saran dan komentarnya agar penulis lebih baik lagi. Terima kasih, Ari Setiadi

Minggu, 03 Maret 2013

CERPEN, Di atas kereta rel listrik







Di Atas Kereta Rel Listrik

   Di atas kereta rel listrik, aku sedang memanfaatkan jasa perjalanannya untuk pulang. Penumpang tidak banyak. Dua bangku panjang yang menempel di kedua dinding gerbong diduduki hanya beberapa penumpang. Di sebelahku duduk seorang gadis remaja. Di sebelah yang lain, tidak ada penumpang. Sedang di seberang kami, persis berada di depanku, duduk sepasang remaja yang tampak segar dan bergembira, membawa kotak kardus bergambar pesawat elektronik, tape recorder. Dari kotak kemasannya yang baru, kelihatan kalau tape recorder itu baru mereka beli.
  
    Kereta rel listrik itu memperlambat jalannya dan berhenti di sebuah stasiun yang sedang disinggahinya. Tiga pintu katup di salah satu dindingnya terbuka secara otomatis. Seorang remaja Sekolah Menengah Umum naik dan duduk di sebelahku. Kemudian ketiga pintu katup itu tertutup kembali secara otomatis dan kereta api rel listrik itu pun melanjutkan perjalanannya. Tidak lama setelah itu, sekawanan remaja Sekolah Menengah Umum seusia anbak yang duduk di sebelahku itu muncul dari gerbong yang berada di depan gerbong kami. Mereka masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukkan sikap sopan. Inilah awal petaka itu.
     Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik dan duduk di sebelahku, jadi gelisah. Dia bereser rapat di dekatku. “Tolong lindungi saya, Pak! Katanya. “Saya sama sekali tidak ikut terlibat perkelahian itu. Saya tidak iklut-ikutan.” Dia menjadi cemas dan semakin gelisah. Mungkin dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya dan dia sudah terperangkap di antara langitlangit dan dinding gerbong. Tak ada tempat untuk menghindar. Pindah ke gerbong lain, sudah tidak mungkin. Gerbong yang kami tumpangi adalah gerbong terakhir. Sedangkan kalau dia mau pindah ke gerbong berikutnya, itu sama artinya menyongsong kedatangan mereka. Satu-satunya jalan untuk menghindar, tetapi itu tidak mungkin, melompat jendela. Maka pilihan terbaik menurut dia, adalah berlindung kepadaku.
   “Murid-murid di sekolah kami berkelahi dengan murid-murid di sekolah mereka. Ada tiga korban yang terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, Pak!” “Kalau begitu persoalannya, duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. Bersikaplah seolah kau anak Bapak.” “Terima kasih,” katanya.
    Namun semuanya terjadi di luar perhitunganku. Dan tak dapat dihindarkan, mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang dikenakannya. Seorang dari mereka datang ke arah kami, mencengkeram dan merenggut kerah baju bagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah yang direnggut itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi arena penyiksaan.
     “Saya tidak ikut-ikutan,” kata anak yang disiksa itu dalam rintihnya. Seragam sekolah yang dipakainya direntap mereka dan sobek memanjang mempelihatkan baju dalamnya. Darah menetes dari bibirnya. Melihat penyiksaan  itu aku tak bisa berdiam diri. Aku bangkit dan bertindak mencegah kesewenang wenangan mereka.
    “Apa permasalahannya. Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan
bertindak seperti itu. Siapa tahu dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
   “Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang besi lancip seperti obeng. “Siapa pun di anatar kalian yang mencoba ikut campur, kami tidak akan segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka Bunuh dengan cara yang kejam. Tanda pengenal sekolah mereka ikat pada leher teman-teman kami itu seperti dasi kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang sama!”
      “Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama.Tolong, jangan bunuh aku,” kata anak itu.
       “Diam! Tiga teman kami telah kalian bunuh dengan cara yang kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak percaya. Kau dusta! Sekarang, jangan coba-coba berlindung di balik kata-kata bohongmu!” “Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku. “Diam kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat menjalar di bawah hidungku. Salah seorang dari mereka menghunus
belati, diarahkan kepadaku. Sementara anak yang menendang mukaku, mengayunkan ujung tajam sepotong besi penghancur batu es, dalam jarak yang sedemikian dekat. “Sekali lagi ikut campur, ini akan melukaimu, Pak Tua.” Diayunkannya benda tajam itu semakin dekat. “Ini adalah perkelahian antar pelajar! Orang tua tak perlu ikut campur. Mengerti!”
     Anak gadis yang duduk di sebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku dari amkan mereka. Memapahku ke tempat duduk semula.Dikeluarkannya kertas tisu, dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
    “Semua yang ada di sini jangan coba-coba ikut campur. Ini perkelahian antar pelajar! Sebaiknya kalian duduk saja di bangku kalian dengan tenang dan saksikan pembalasan ini.” Salah seorang dari mereka merobek seragam sekolahnya sendiri dalam satu sobekan panjang, mengambil tanda pengenal sekolah yang menempel di lengan bajunya. Cabikan panjang itu dia lilitkan di leher anak laki-laki itu, seperti simpul sebuah dasi. “Biar mereka tahu siapa yang melemparkannya dari atas kereta rel listrik ini. Hanya tinggal beberapa detik saja lagi, dendam akan teralas!” dia berpaling ke arah pintu. “Buka pintu itu!” Murid-murid Sekolah Umum itu memasukkan alat pencokel ke bagian celah  tempat bertemunya kedua daun pintu katup itu. Alat pencokel itu mereka tekan ke satu arah dan pertemuan kedua daun pintu katup itu merenggang. Seuah celah tegak lurus tercipta di tengah bingkai pintu.     Dua kekuatan yang berlawanan memperlebar celah itu. Dan sekarang, bingkai pintu kereta rel listrik itu terbuka lebar. Agin keras mendesak masuk melalui pntu yang telah terbuka itu, lalu menyerang muka para penumpang, mempermainkan ujung baju, dan menyisir rambut. Angin membawa masuk bau perkampungan miskin yang padat dan tumbuh di kedua sisi rel itu. Pemandangan itu menyentak dan menyadarkanku.
     Anak laki-laki itu berada dalam ambang kematiannya. Aku mencium bau kematian itu. Dan sekarang, kulihat mereka menyeret anak laki-laki itu ke arah pintu. Aku ambil keputusan yang amat sangat mengandung resiko. Tidak akan aku biarkan pintu kereta rel listrik itu menjadi lobang menuju kematiannya. Maka, tak ada yang bisa kulakukan kecuali memohon belas kasihan kepadanya, memninta agar dia dan kawan-kawannya mengurungkan niat mereka.
    Tetapi mereka ternyata telah berubah menjadi iblis. Dengan beringas dia tendang tubuhku. Membiarkan aku terjungkal di lantai. Aku segera bangkit, merangkak mendekati kedua kaki yang terseret di lantai. Aku melompat menerkam kedua kaki yang terseret itu. Merangkulnya, menahan kedua kaki itu di dalam dekapanku sekuat tenaga. Aku tidak ubahnya seperti lantai kereta rel listrik itu dan kedua kaki yang berada di dalam dekapanku adalah tiang yang melekat di atasnya. Tetapi mereka banyak dan lebih kuat. Aku terseret di atas lantai gerong itu. Aku sekarang tak ubahnya seperti hewan yang terseret di ujung seutas tali yang ditarik pemiliknya. Pada saat sepatu mereka di bahuku, menahan tubuhku saat mencabut kedua kaki itu. Kedua kaki itu terlepas dalam rentangan tangan tangan mereka. Sebelah dari sepatu yang dikenakannya, tertinggal di dalam dekapanku, seperti umbi patah dari batangnya, saat dicabut dari tanah. Setelah itu, mereka seret anak laki-laki itu ke pintu, mereka lemparkan ke luar gerbong. Jerit kematian terdengar menyudahi eksekusi itu. Kemudian pintu kereta rel listrik itu terkatup kembali. Tak terdengar ada suara itu, kecuali bunyi roda bergelinding di bawah lantai, melintas sambungan rel yang renggang di kedua rentangannya, memperjauh jarak antara sepatu dan pemiliknya.
     Maut tak bisa dilawan. Hidup hanya untuk masa yang singkat. Semuanya tentu akan menghembuskan napas penghabisan. Kematian selalu datang dengan caranya. Sangat beragam. Rencana Tuhan tak pernah bisa diterka. Semua telah menjadi kemauan takdir.

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "