Di Atas Kereta Rel
Listrik
Di atas kereta rel listrik, aku sedang memanfaatkan jasa perjalanannya
untuk pulang. Penumpang tidak banyak. Dua bangku panjang yang menempel di kedua
dinding gerbong diduduki hanya beberapa penumpang. Di sebelahku duduk seorang
gadis remaja. Di sebelah yang lain, tidak ada penumpang. Sedang di seberang
kami, persis berada di depanku, duduk sepasang remaja yang tampak segar dan
bergembira, membawa kotak kardus bergambar pesawat elektronik, tape recorder.
Dari kotak kemasannya yang baru, kelihatan kalau tape recorder itu baru mereka
beli.
Kereta rel listrik itu memperlambat jalannya dan berhenti di sebuah
stasiun yang sedang disinggahinya. Tiga pintu katup di salah satu dindingnya
terbuka secara otomatis. Seorang remaja Sekolah Menengah Umum naik dan duduk di
sebelahku. Kemudian ketiga pintu katup itu tertutup kembali secara otomatis dan
kereta api rel listrik itu pun melanjutkan perjalanannya. Tidak lama setelah
itu, sekawanan remaja Sekolah Menengah Umum seusia anbak yang duduk di
sebelahku itu muncul dari gerbong yang berada di depan gerbong kami. Mereka
masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukkan sikap sopan. Inilah awal
petaka itu.
Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik
dan duduk di sebelahku, jadi gelisah. Dia bereser rapat di dekatku. “Tolong
lindungi saya, Pak! Katanya. “Saya sama sekali tidak ikut terlibat perkelahian
itu. Saya tidak iklut-ikutan.” Dia menjadi cemas dan semakin gelisah. Mungkin
dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya dan dia sudah
terperangkap di antara langitlangit dan dinding gerbong. Tak ada tempat untuk
menghindar. Pindah ke gerbong lain, sudah tidak mungkin. Gerbong yang kami
tumpangi adalah gerbong terakhir. Sedangkan kalau dia mau pindah ke gerbong
berikutnya, itu sama artinya menyongsong kedatangan mereka. Satu-satunya jalan
untuk menghindar, tetapi itu tidak mungkin, melompat jendela. Maka pilihan
terbaik menurut dia, adalah berlindung kepadaku.
“Murid-murid di sekolah kami berkelahi dengan murid-murid di sekolah
mereka. Ada tiga korban yang terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan
dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, Pak!” “Kalau begitu persoalannya,
duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. Bersikaplah
seolah kau anak Bapak.” “Terima kasih,” katanya.
Namun semuanya terjadi di luar perhitunganku. Dan tak dapat dihindarkan,
mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang
dikenakannya. Seorang dari mereka datang ke arah kami, mencengkeram dan
merenggut kerah baju bagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah
yang direnggut itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak
mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal
di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan
padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi arena penyiksaan.
“Saya tidak ikut-ikutan,” kata anak yang disiksa itu dalam rintihnya. Seragam
sekolah yang dipakainya direntap mereka dan sobek memanjang mempelihatkan baju
dalamnya. Darah menetes dari bibirnya. Melihat penyiksaan itu aku tak bisa berdiam diri. Aku bangkit
dan bertindak mencegah kesewenang wenangan mereka.
“Apa permasalahannya. Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan
bertindak seperti itu. Siapa tahu
dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
“Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang
besi lancip seperti obeng. “Siapa pun di anatar kalian yang mencoba ikut
campur, kami tidak akan segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka Bunuh
dengan cara yang kejam. Tanda pengenal sekolah mereka ikat pada leher teman-teman
kami itu seperti dasi kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang
sama!”
“Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut
membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama.Tolong, jangan bunuh aku,” kata anak
itu.
“Diam! Tiga teman kami telah kalian
bunuh dengan cara yang kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak
percaya. Kau dusta! Sekarang, jangan coba-coba berlindung di balik kata-kata
bohongmu!” “Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku. “Diam
kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya
menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat
menjalar di bawah hidungku. Salah seorang dari mereka menghunus
belati, diarahkan kepadaku.
Sementara anak yang menendang mukaku, mengayunkan ujung tajam sepotong besi
penghancur batu es, dalam jarak yang sedemikian dekat. “Sekali lagi ikut
campur, ini akan melukaimu, Pak Tua.” Diayunkannya benda tajam itu semakin
dekat. “Ini adalah perkelahian antar pelajar! Orang tua tak perlu ikut campur.
Mengerti!”
Anak gadis yang duduk di sebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku
dari amkan mereka. Memapahku ke tempat duduk semula.Dikeluarkannya kertas tisu,
dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
“Semua yang ada di sini jangan coba-coba ikut campur. Ini perkelahian antar
pelajar! Sebaiknya kalian duduk saja di bangku kalian dengan tenang dan saksikan
pembalasan ini.” Salah seorang dari mereka merobek seragam sekolahnya sendiri
dalam satu sobekan panjang, mengambil tanda pengenal sekolah yang menempel di lengan
bajunya. Cabikan panjang itu dia lilitkan di leher anak laki-laki itu, seperti simpul
sebuah dasi. “Biar mereka tahu siapa yang melemparkannya dari atas kereta rel
listrik ini. Hanya tinggal beberapa detik saja lagi, dendam akan teralas!” dia
berpaling ke arah pintu. “Buka pintu itu!” Murid-murid Sekolah Umum itu
memasukkan alat pencokel ke bagian celah
tempat bertemunya kedua daun pintu katup itu. Alat pencokel itu mereka
tekan ke satu arah dan pertemuan kedua daun pintu katup itu merenggang. Seuah
celah tegak lurus tercipta di tengah bingkai pintu. Dua kekuatan yang berlawanan memperlebar
celah itu. Dan sekarang, bingkai pintu kereta rel listrik itu terbuka lebar.
Agin keras mendesak masuk melalui pntu yang telah terbuka itu, lalu menyerang
muka para penumpang, mempermainkan ujung baju, dan menyisir rambut. Angin
membawa masuk bau perkampungan miskin yang padat dan tumbuh di kedua sisi rel
itu. Pemandangan itu menyentak dan menyadarkanku.
Anak laki-laki itu berada dalam ambang kematiannya. Aku mencium bau
kematian itu. Dan sekarang, kulihat mereka menyeret anak laki-laki itu ke arah
pintu. Aku ambil keputusan yang amat sangat mengandung resiko. Tidak akan aku
biarkan pintu kereta rel listrik itu menjadi lobang menuju kematiannya. Maka,
tak ada yang bisa kulakukan kecuali memohon belas kasihan kepadanya, memninta
agar dia dan kawan-kawannya mengurungkan niat mereka.
Tetapi mereka ternyata telah berubah menjadi iblis. Dengan beringas dia tendang
tubuhku. Membiarkan aku terjungkal di lantai. Aku segera bangkit, merangkak
mendekati kedua kaki yang terseret di lantai. Aku melompat menerkam kedua kaki
yang terseret itu. Merangkulnya, menahan kedua kaki itu di dalam dekapanku
sekuat tenaga. Aku tidak ubahnya seperti lantai kereta rel listrik itu dan
kedua kaki yang berada di dalam dekapanku adalah tiang yang melekat di atasnya.
Tetapi mereka banyak dan lebih kuat. Aku terseret di atas lantai gerong itu.
Aku sekarang tak ubahnya seperti hewan yang terseret di ujung seutas tali yang
ditarik pemiliknya. Pada saat sepatu mereka di bahuku, menahan tubuhku saat mencabut
kedua kaki itu. Kedua kaki itu terlepas dalam rentangan tangan tangan mereka.
Sebelah dari sepatu yang dikenakannya, tertinggal di dalam dekapanku, seperti
umbi patah dari batangnya, saat dicabut dari tanah. Setelah itu, mereka seret
anak laki-laki itu ke pintu, mereka lemparkan ke luar gerbong. Jerit kematian
terdengar menyudahi eksekusi itu. Kemudian pintu kereta rel listrik itu
terkatup kembali. Tak terdengar ada suara itu, kecuali bunyi roda bergelinding
di bawah lantai, melintas sambungan rel yang renggang di kedua rentangannya,
memperjauh jarak antara sepatu dan pemiliknya.
Maut tak bisa dilawan. Hidup hanya untuk masa yang singkat. Semuanya
tentu akan menghembuskan napas penghabisan. Kematian selalu datang dengan caranya.
Sangat beragam. Rencana Tuhan tak pernah bisa diterka. Semua telah menjadi
kemauan takdir.
0 komentar:
Posting Komentar